•••
Mery Thevania
Puluhan pasang mata saat ini sedang mengarah pada tiga orang cewek yang tengah dihukum di lapangan. Terutama, untuk anak kelas 11 IPA-4 melihat teman mereka layaknya sebuah tontonan drama, umpatan serta bisikkan terdengar sepanjang koridor SMA Bakti Buana. Terik matahari kian menyengat, menerpa ketiga cewek berseragam putih abu-abu itu.
"Buset dah, body goals banget!"
"Dadanya uh putih, njir!"
"Cantik bet, anjir, auto lari mantan gue."
"Kinclong semiriwing dah!"
Setidaknya itulah pujian dari para cowok yang berada di lorong SMA Bakti Buana, mereka memanfaatkan kejadian ini sebagai ajang cuci mata.
Di sana--tepatnya di depan tiang bendera seorang cewek berambut sebahu berdebat dengan Bu Martha--guru bimbingan konselingnya. Bersama dua orang cewek di belakangnya.
"Kamu tidak mengerti apa yang ibu katakan, Mery?! Sekolah ini sudah melarang siswi untuk menyemir rambut!" gertak bu Martha.
Alih-alih ketakutan Mery justru menggeleng, berdecak sebal beberapa kali sambil menyilangkan kedua tangannya. "Ribet! Ibu banyak maunya, sih. Makanya sekolahnya banyak peraturan. Rambut-rambut saya juga, kenapa ibu yang repot? Mau saya cat kek, mau saya pilox kek mau saya--"
"MERY!!" potong Bu Martha, emosinya membeludak. Beliau sudah sangat bosan menegur kelakuan ketiga cewek di depannya. "Jangan menyela omongan saya!"
Berbeda dengan kedua temannya yang jelas menunduk takut dan mulai was-was, Mery nampak lebih santai saja. Dia maju selangkah, menatap bu Martha.
"Yaudah ye, ibu tuanya maunya apa?"
Bu Martha melotot tajam, dia meraih rambut Mery dengan kasar, sedikit menjambaknya membuat cewek itu meringis kesakitan.
"Besok, ibu mau rambut kamu sudah berwarna hitam kembali. Mengerti?!"
Mery mengerling jahil, menepis tangan bu Martha dari rambutnya, lalu menatap si guru dengan mengangkat dagu. "Saya juga."
Bu Martha mengernyit heran. Sementara Mery tertawa kecil seraya menyikut kedua temannya. Raya dan Tasya. Mery melempar telepati yang hanya kedua temannya mengerti.
"Besok, saya mau liat rambut Bu Martha hitam lagi. Bisa, 'kan, Bu?"
Tawa mulai menggema, koridor yang tadinya beratmosfir tegang menjadi penuh tawa. Murid-murid bahkan berbalik mengejek Bu Martha. Guru dengan cepol tinggi dan rambut hampir memutih semua. Wajar, guru itu sudah tua dan hampir pensiun.
"MERY, KAMU IBU SKORS SELAMA TIGA HARI!" putus Bu Martha, Mery mengerucutkan bibir, menghentakkan kaki kesal lalu pergi dari sana diikuti kedua temannya.
"Dasar guru sialan, banyak peraturan!" desis Mery. Meski melewati koridor yang penuh siswa dia tidak peduli, apalagi ketika cowok-cowok melempar godaan dan siulan genit, contohnya seperti ini.
"Cewek cantik ikut abang, yuk!"
"Phewitt, jalan sama gue aja biar ademan."
"Itu bibir menggoda banget, dek. Boleh abwang cicipin?"
"Ry, kancing lo tuh, bikin gue salah fokus."
Muak? Tidak sama sekali, Mery sudah kebal dengan pujian atau godaan nakal seperti itu. Dia tahu dirinya cantik, wajar bukan jika ada yang menggoda?
Menyusuri koridor, masih dengan rasa kesal, Mery mendapati sekumpulan siswa mengerubungi mading. Entah apa yang menarik di sana, Mery ikut penasaran, diterobosnya segorombolan orang itu. Dalam sekali kibasan, para siswa memberi jalan untuk Mery lewat.
"Minggir-minggir!"
Tatapan tidak suka pun mengarah pada Mery, sama, ia tidak peduli, yang menarik baginya saat ini hanyalah kertas putih yang tertempel di mading. Kertas itu memberitahu jika.
PENTAS SENI KEMBALI DIBUKA!
PELUANG UNTUK KAMU TAMPIL DALAM ACARA PENTAS SENI TAHUN INI. ACARA DIMULAI MALAM INI PUKUL 20.00. TEMPAT LAPANGAN SMA BAKTI BUANA. JANGAN LUPA DATANG YA!"Oh my God, pensi. Gue pengen ikutttt," pekik Raya di belakang Mery. Cewek itu menatap berbinar kedua teman-temannya. "Ayolah Ry, Sya. Setahun sekali dong acaranya. Kapan lagi kita seneng-seneng kayak gini?"
"Si Bodoh!" hardik Tasya menoyor kepala Raya. "Lo lupa apa kalau Mery lagi diskors?"
"Eh iya, hehe." Raya cengar-cengir. Lalu cemberut lagi. "Terus gimana dong? Gue pengen liat Ka Bima. Sekalian kita seneng-seneng, please, dong, Ry. Cari cara supaya kita bisa ke sana," pinta Tasya memelas, cewek itu menyatukan kedua telapak tangan.
"Nggak bisa lah, bego. Lo mau kita ketahuan kayak tahun kemaren?" pungkas Tasya, Raya mengerucutkan bibirnya.
Sementara Mery menyunggingkan senyum tipis. "Bisa, kok."
"Lah, lu yakin, Ry?" Tasya memastikan.
Mery tidak menjawab, dia hanya menggidikan bahu acuh lalu tersenyum. Karena dia adalah Mery Thevania, cewek urakan yang tidak suka dikekang, menyukai kebebasan, dan pastinya memiliki solidaritas tinggi antar teman.
Sekalipun itu adalah guru, Mery memiliki kuasa lebih dari itu.
•••
Terima kasih sudah membaca😊
Follow juga ig At xerniy_
At merydian.ofcFollow juga wp author xerniy
KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORA
Teen Fiction[PROSES REVISI] "Pertama, lo harus jadi cupu selama yang gue mau!" Apa jadinya jika seorang badgirl, tukang rusuh dan pembuat onar di SMA Bakti Buana mendadak mengubah cupu penampilannya? Ya, Mery Thevania harus merasakan itu saat pertama kali bert...