21

609 24 0
                                    

Elvano memgantarkan Rianty hingga di depan gerbang sekolahnya. "Jangan ikut upacara dulu." Perintahnya.

Rianty menghela nafas. "Aku udah sembuh, Van." Jawabnya.

"Walaupun udah sembuh tetep gak boleh ikut upacara." Katanya tetap kekeh. "Nanti kalo kamu sakit lagi gimana? Disana gak ada aku yang bisa jagain kamu." Lanjutnya terlihat masih cemas.

"Iya iya." Akhirnya Rianty menyerah dan mengiyakan perintah Elvano.

Setelah puas dengan jawaban Rianty, Elvano melajukan motornya menuju sekolahnya.

Kemudian Rianty memasuki area sekolah. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat. Namun ia menutupnya dengan senyuman. Rianty memasuki kelasnya. Lalu keluar dengan membawa topi menuju lapangan upacara. Tak mengindahkan perintah Elvano tadi.

"Rianty!" Panggil seorang cowok ketika melihat Rianty memasuki lapangan upacara.

Rianty menoleh. Melihat siapa yang memanggilnya. "Refan? Kenapa?" Tanyanya.

"Hari ini lo jaga barisan kelas 11 ya." Perintahnya sebagai ketua OSIS.

"Oke." Jawabnya tanpa memikirkan keadaannya saat itu.

"Tapi lo gak sakit kan?" Refan melihat Rianty yang sedikit pucat.

Rianty menggeleng.

Refan menganggukkan kepala. Mempersilakan Rianty menjalankan tugasnya sebagai anggota OSIS.

Rianty berjalan menuju barisan kelas 11. Dan mulai mengatur para siswa untuk segera baris karena upacara akan segera dimulai. Mengatur seperti ini sangat menguras tenaga. Banyak siswa yang bebal dan tak peduli walaupun sudah disuruh baris dengan rapi. Masih ada yang jalan sana, jalan sini tak mengindahkan peraturan.

Rianty cukup kewalahan. Akhirnya ia meminta bantuan Bu Nana, selaku guru BK di Satu Nusa.

Upacara berjalan seperti biasa. Tetapi tidak jika ada Jovi dan Satria. Si biang onar Satu Nusa. Ada saja tingkah aneh mereka. Seperti ngobrol dalam barisan. Gerak sana, gerak sini. Pokoknya tidak bisa diam.

"Ri, ngapain berdiri disitu? Mending sini deket Jovi." Satria mulai menggoda Rianty.

Bukannya tersinggung atau marah, Jovi malah tambah menggoda Rianty. "Iya sini sama gue aja, biar gue lindungin lo dari panas matahari yang bersinar terang seperti cintaku padamu." Katanya membuat Rianty terheran-heran.

"Diem! Jangan berisik!" Tegurnya.

"Gue bosen diem mulu." Keluh Jovi yang diangguki setuju oleh Satria.

"Jovi! Satria! Bisa diam gak kalian?" Tegur Bu Nana yang jengah melihat mereka berisik sejak tadi.

"Bu, saya kebelet." Ucap Jovi meringis menahan buang air.

Bu Nana menggeleng. "Gak ada. Nanti kamu gak balik lagi kesini." Larangnya.

"Balik lagi kok, bu. Beneran deh." Kata Jovi masih memohon. "Emangnya ibu mau saya pipis disini? Ibu mau tanggung jawab?" Cecarnya pada Bu Nana.

"Ya sudah sana." Akhirnya Bu Nana mengalah dan mengizinkan Jovi keluar dari barisan untuk ke toilet. "Rianty, tolong ikuti Jovi. Pastikan dia tidak kabur." Bu Nana tak melepaskan Jovi begitu saja.

Rianty melongo. Apa Bu Nana serius menyuruh Rianty mengikuti Jovi sampai toilet? Walau dengan ragu, Rianty tetap mengikuti Jovi.

"Jangan ikut masuk!" Cegah Jovi saat sudah sampai di depan toilet.

Rianty nemutar bola matanya jengah. "Siapa juga yang mau masuk." Cibirnya.

"Ya siapa tau aja lo gak mau jauh-jauh dari gue." Jovi terlampau percaya diri.

Rianty melongo. Tak habis pikir dengan Jovi. Semakin hari otaknya semakin miring saja. Membuatnya bergidik ngeri.

Rianty masih setia menunggu Jovi keluar dari toilet. Namun tiba-tiba kepalanya terasa berat. Rasa pusing mulai menguasai dirinya.

Jovi yang baru saja keluar dari toilet mengernyit heran. Memandangi Rianty yang semakin pucat. Ada rasa khawatir di dalam diri Jovi.

"Lo kenapa?" Tanyanya berusaha mengontrol dirinya agar tidak panik.

Rianty hanya menggeleng. "Cepetan balik kebarisan." Ucapnya berusaha mengalihkan Jovi. Lalu berjalan lebih dulu.

Jovi mengekori Rianty. Ia berjalan di belakang Rianty yang sudah lunglai. Tetap mencoba kuat sampai menuju barisan. Namun dalam hitungan detik. Dihadapan Jovi. Rianty jatuh pingsan. Membuat Jovi reflek berlari mendekat dan menggendongnya menuju UKS.

Jovi terlihat sangat panik saat memasuki UKS. Bu Lia, penjaga UKS langsung sigap menyuruh Jovi menidurkan Rianty di brankar. Wajah Jovi memerah. Masih terlihat begitu cemas dengan keadaan Rianty.

"Dia kenapa, bu?" Tanyanya penasaran dengan keadaan Rianty.

"Dia sepertinya kelelahan. Biarkan dia istirahat dulu." Jawab Bu Lia. "Kamu bisa kembali ke barisan." Ucap Bu Lia.

"Gak, bu. Saya mau disini jagain dia." Jovi menggeleng. Enggan meninggalkan Rianty dengan keadaan seperti itu.

Bu Lia mengerti kecemasan yang dirasakan Jovi. Akhirnya ia membiarkan Jovi tetap berada disana. Dengan catatan Jovi harus diam dan jangan berbuat ulah. Mengingat Jovi adalah biang onarnya sekolah.

Melihat Jovi yang begitu cemas mengingatkan Bu Lia dengan masa SMAnya. Bu Lia tersenyum simpul. "Dia enggak papa, Jo. Kamu tenang aja." Bu Lia berusaha menenangkan Jovi.

"Gimana saya bisa tenang, bu, dia jatuh pingsan di depan saya. Dan sampe sekarang belom sadar."

Bu Lia mengangguk. "Dia siapa kamu?" Tanya Bu Lia yang penasaran kenapa Jovi begitu mengkhawatirkannya.

Jovi diam. Lalu menjawab, "temen."

Bu Lia tersenyum. "Kalo cuma temen gak bakalan secemas itu." Kata Bu Lia.

Jovi diam lagi. Memikirkan perkataan Bu Lia. Tapi memang kenyataannya mereka hanya sebatas teman.

"Kamu suka dia?"

Kali ini Jovi tersenyum kecil. Dan Bu Lia langsung tau apa jawaban dari pertanyaannya itu. "Kalo kamu suka dia, kamu harus berubah demi dia." Bu Lia menasehati Jovi.

Ya, Jovi membenarkan perkataan Bu Lia. Ia harus berubah demi Rianty. Tapi bagaimana caranya? Harus dimulai dari mana? Apa ia bisa berubah?

Hanya dengan memikirkannya saja Jovi sudah pesimis. Ia masih mengira Rianty sudah memiliki pacar. Sehingga ia berpikir akan sia-sia saja.

"Saya tau kamu sebenarnya anak baik. Hanya saja pergaulan kamu yang kurang baik." Ucap Bu Lia lagi.

Jovi tersenyum simpul. Ia tak menyangka masih ada orang yang percaya bahwa dia ini baik. Padahal banyak orang di luar sana yang tidak percaya dengannya. Bahkan membencinya.

"Upacara sudah selesai. Saya ada perlu sebentar. Tapi saya gak bisa ninggalin kalian berdua disini." Katanya ragu saat akan meninggalkan Jovi dan Rianty di dalam ruangan yang sama hanya berdua.

"Ibu tenang aja, saya gak akan ngapa-ngapain kok." Jovi meyakinkan Bu Lia.

"Yaudah, ibu tinggal dulu. Nanti kalo dia sadar kamu kasih dia air hangat." Pesannya sebelum pergi.

"Makasih, bu." Ucap Jovi yamg diangguki Bu Lia. Kemudian Bu Lia melangkah pergi.

Jovi kembali menatap Rianty. Ia masih belum sadarkan diri. Tangannya mengulur ke wajah Rianty. Jemarinya mencolek hidung kecil Rianty.

"Pesek bangun dong!" Jemari Jovi semakin turun dan menyentuh bibir tipis Rianty.

Jovi memainkan bibir kecil itu dengan jari telunjuknya. Berharap Rianty akan sadar secepatnya. Namun tetap tak ada respon apapun dari Rianty. Jovi mendesah. Putus asa sendiri dibuatnya. Menidurkan kepalanya disebelah tangan Rianty. Berharap semoga Rianty cepat sadar.

Jovi mendongak lagi. Melihat apakah Rianty sudah membuka mata. Tapi mata Rianty masih tertutup rapat. Jovi makin gelisah. Menghela nafas berat. Masih menatap Rianty penuh harap.

*****

ADRIANTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang