Adrian sudah menunggu Rianty di depan sekolah sejak beberapa menit yang lalu. Sebelumnya pun mengabari Rianty bahwa dia akan menjemput.
Rianty menghampirinya dengan wajah yang terlihat masih sembab habis menangis tadi pagi. Atau bahkan sampai pulang sekolah.
Adrian menyipit memandang Rianty. "Lo kenapa?" Rianty menggeleng lemah dan tersenyum tipis. Sudah pasti itu senyum palsunya.
"Berapa kali sih gue bilang sama lo kalo lo itu gak bisa bohongin gue," decak Adrian.
"Apa sih ah?" sahut Rianty yang masih terlihat murung.
Adrian mendengus. "Udah cepet naik!"
Rianty menuruti kata Adrian tanpa bantahan. "Mau kemana?" tanya Rianty saat Adrian melajukan motornya.
"Caffe apa mabes?" tanya Adrian datar.
"Pulang," jawab Rianty.
Adrian menggertakan rahang tak sabar. Cewek ini terlalu bodoh dan terlalu bucin ternyata. "Pilihannya cuma dua dan itu gak ada kata pulang," balas Adrian masih dengan wajah datar.
"Tapi gue mau pulang."
"Pulang terus lanjut nangis di rumah gitu?"
Rianty menggigit bibir bawahnya. Tak langsung menjawab. Rianty cukup lelah jika harus berdebat sekarang.
Adrian yang tak kunjung mendengar jawaban Rianty akhirnya membawa Rianty ke mabes. Adrian tidak mau Rianty sendiri di rumah dengan keadaan seperti ini.
Disana sudah ada Elvano yang menyambut mereka dengan kernyitan heran. Memandang Adrian dan Rianty secara bergantian. "Ngapain lo ngajak dia kesini?" bisik Elvano pada Adrian.
Adrian melirik sekilas pada Rianty lalu menatap Elvano lagi. "Gue gak mau dia di rumah sendirian dengan keadaan kayak gitu. Gue takut dia ngelakuin hal bodoh kayak dulu lagi," jelas Adrian.
"Lo mau dia diapa-apain sama anak dalem? Lo tau kan anak dalem itu omes semua?" sela Elvano agak tidak rela jika Rianty harus berada ditempat seperti ini.
"Gue yang bakal jagain dia."
Adrian mengajak Rianty masuk ke dalam mabes. Mabes ini berbentuk bangunan rumah yang di dalamnya lengkap dengan ruang tamu, ruang keluarga, 3 bilik kamar, dapur, bahkan kamar mandi. Sebenarnya ini memang sebuah rumah dekat sekolah milik salah satu murid, dan terlalu sering mereka gunakan untuk berkumpul sehingga menjadi markas besar mereka.
Rianty canggung berada diantara mereka. Banyak wajah yang Rianty tidak kenal dan baru pertama kali melihatnya. Di ruang tamu sudah disuguhkan oleh beberapa remaja yang terlihat berantakan sedang merokok. Rianty yang sangat anti asap rokok jadi terbatuk kecil membuat Adrian yang tadinya ingin ikut merokok juga jadi mengurungkan niat.
Adrian memang wakil ketua OSIS. Tapi bejatnya tidak jauh beda dengan anak nakal lainnya. Merokok dan bolos sepertinya sudah menjadi makanan sehari-hari baginya.
Melihat Rianty yang makin terbatuk membuat Adrian membawanya dalam suatu ruangan. Yang bisa dilihat dari sisinya pasti itu sebuah kamar dengan ukuran sedang. "Masuk aja nggak papa," katanya saat melihat Rianty yang memang kurang nyaman dengan tempat ini.
Rianty jadi mencekeram lengan Adrian kuat. "Pintu gak akan gue tutup kalo lo takut gue bakalan ngapa-ngapain lo," katanya seakan bisa membaca pikiran Rianty saat itu.
Rianty memasuki ruangan itu dengan ragu. Memang benar itu sebuah kamar. Ada kasur kecil disana. Mungkin untuk mereka yang malam ingin menginap disini.
"Yan, tutup dah pintunya kalo gak mau ada yang ganggu." Terdengar suara bariton khas cowok dari luar yang memerintahkan untuk menutup pintu kamar itu. Rianty tidak tau itu siapa, tapi Rianty bisa tau bahwa cowok itu tidak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADRIANTY
Teen FictionMencintaimu adalah hal terindah Merindukanmu sudah pasti kurasa Memilikimu hanya impian semata Bersamamu adalah harapanku juga ~Rianty Febriana~ Ini kisah Adrian dan Rianty yang diselingi oleh orang ketiga, tetapi menjelma sebagai tokoh utama. Start...