Hari yang cukup melelahkan bagi Rianty. Padahal seharian tadi dia hanya tidur dan menenangkan dirinya di ruang OSIS. Rasanya tetap saja lelah, lebih tepatnya lelah hati dan pikiran.
Rianty memasuki rumah dengan langkah gontai. Di dalam sudah ada Sita dan Abi yang menunggunya.
"Dari mana aja kamu jam segini baru pulang?" tanya Sita pada anak tunggalnya. Rianty melirik malas. Bukan tidak sopan, hanya saja Rianty lelah mendengar ocehan yang semakin hari semakin menyakitkan untuk didengar.
"Mama sama Papa tumben banget jam segini udah di rumah," Rianty mengalihkan pembicaraannya.
"Makin hari makin jadi ya kamu, makin gak punya aturan," seru Sita makin menjadi.
"Mama sama Papa juga gitu, sering gak pulang dan ninggalin aku di rumah sendirian," balas Rianty. Rianty sudah tidak tahan lagi untuk diam. Dia lelah harus mengalah, sesekali dia ingin mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini. Rianty tertekan.
"Mama sama Papa ini kerja untuk kamu, untuk kebutuhan hidup kita," pekik Sita yang semakin geram.
"Aku gak butuh Ma, yang aku butuhin cuma kasih sayang Mama dan Papa," teriak Rianty dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah mengatakan itu Rianty berlari dan masuk ke dalam kamarnya.
Sita dan Abi menyusuli Rianty. Mengetuk pintu kamar Rianty agar Rianty mau membukanya.
"Buka, Ri!" pinta Abi sambil mengetuk pintu itu.
"Nak, buka ya!" pinta Abi lagi lebih lembut. Masih saja pintu itu tertutup. Rianty sama sekali tidak menuruti permintaan ayahnya.
"Untuk apa, Pa? Untuk kalian marahin lagi?" teriak Rianty dari dalam.
"Gak, nak."
"Rianty capek, Pa, Rianty mau kayak temen-temen Rianty. Punya Mama dan Papa yang selalu perhatian sama mereka."
Rianty sudah menangis sejadi-jadinya di dalam kamar.
"Waktu Rianty sakit apa Mama sama Papa peduli? Gak kan? Gak ada yang peduli sama Rianty disini!"
"Bukan gitu, Ri," kini suara Sita kembali terdengar.
"Terus apa? Hah?! Rianty kayak gini karena Mama sama Papa terlalu sibuk sama kerjaan. Terus Rianty yang salah? Salah kalo Rianty punya kesibukan juga diluar?"
"Nak, dengerin Papa dulu," Abi kembali mengetuk pintu itu.
"Rianty cuma mau Mama sama Papa perhatian sama Rianty kayak dulu," suaranya mulai melirih. "Rianty capek Ma, Pa, punya keluarga tapi berasa hidup sebatang kara."
"Maafin Rianty belom bisa jadi anak yang baik untuk Mama sama Papa, maafin Rianty kalo Rianty sering gak nurut sama kalian, selama ini Rianty diem bukan karena semua omongan Mama bener, tapi karena Rianty gak mau ngelawan orang yang udah ngelahirin Rianty," jeda sebentar. Rianty mengambil nafas berat. "Maafin Rianty," ucapnya lalu hening seketika.
Abi dan Sita sudah panik. Terus mengetuk pintu kamar Rianty namun hasilnya nihil. Rianty tidak merespon apapun lagi. Tidak ada suara lagi di dalam sana. Abi pun akhirnya mendobrak pintu itu. Tapi kekuatannya masih belum cukup untuk benda dari kayu itu terbuka. Abi belum menyerah, dicobanya sekali lagi. Dan percobaan kelima ini berhasil. Sita menutup mulut dan terkejut saat melihat anak semata wayangnya sudah tergeletak di lantai dengan tangan kanan yang memegang beberapa obat yang tersisa.
Sita menangis sejadi-jadinya. Abi pun tidak habis pikir putrinya akan berbuat senekat ini. Dengan cepat Abi membawa Rianty ke rumah sakit terdekat agar putrinya tertolong.
*****
"Gimana keadaan anak saya, dok?" tanya Sita yang begitu panik dengan keadaan putrinya. Abi merangkul Sita dan menguatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADRIANTY
Teen FictionMencintaimu adalah hal terindah Merindukanmu sudah pasti kurasa Memilikimu hanya impian semata Bersamamu adalah harapanku juga ~Rianty Febriana~ Ini kisah Adrian dan Rianty yang diselingi oleh orang ketiga, tetapi menjelma sebagai tokoh utama. Start...