35

513 18 0
                                    

Abi kembali dengan wajah yang sudah tidak kalut seperti tadi. Saat menemukan sang istri jatuh dari tangga sewaktu ia sampai di rumah.

"Mama gimana, Pa?" tanya Rianty yang langsung menghampiri Abi.

"Mama enggak papa sayang, cuma kepalanya kena benturan aja terus pergelangan kakinya sedikit bermasalah karena Mama jatuhnya keseleo tadi," Abi berusaha menenangkan putrinya. "Tapi Mama harus tetap dirawat selama beberapa hari untuk tau perkembangannya," lanjutnya.

"Jadi Mama belum boleh pulang, Pa?" Abi menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan putrinya itu.

Aga kembali mendekatinya. Dan memberikan foto usang itu kepada Abi. "Ini punya kamu, Bi?"

Abi menerima foto itu yang memang dari dulu disimpannya. Sebagai petunjuk keluarga utuhnya. "Iya, tadi jatuh ya?"

"Jadi yang ada di foto itu keluarga kamu?"

Abi mengangguk, tersenyum samar. "Ibu dan ayah saya bercerai saat saya masih berusia 5 tahun. Saya ikut ibu dan kakak saya ikut ayah saya," Abi mulai bercerita tentang keluarganya dengan Aga. "Ibu saya sudah meninggal 7 tahun yang lalu, dan saya tidak pernah tau tentang ayah dan kakak saya ini. Saya sudah coba cari tapi tidak pernah membuahkan hasil," lanjutnya memandang sendu foto usang itu.

"Jadi kamu Abi kecil yang ada di foto itu?"

Abi mengernyit tak paham. Ingatannya terlalu sulit untuk mengingat kejadian 35 tahun yang lalu.

"Ini saya Bi, Aga, Agatra Sanjaya. Laki-laki yang lebih tua 5 tahun dari kamu di foto itu," Aga langsung menyimpulkan bahwa benar firasatnya bahwa Abi adalah adik kandungnya.

"Apa!?" seru Elvano, Rianty, dan Erni bersamaan.

"Jadi Mas Abi ini..." Erni berusaha memastikan ucapan suaminya.

"Iya Ma, Abi ini adik Papa yang selalu Papa ceritain ke Mama waktu kita belum menikah. Dan sekarang dia jelas ada di depan kita."

Abi langsung memeluk Aga. Melepaskan rasa rindunya. Berpisah selama 35 tahun bukanlah waktu yang sebentar.

Bodohnya mereka berdua, tak pernah menyadari bahwa mereka saudara kandung. Padahal mereka hidup berdampingan. Saling mencari namun tak saling mengetahui bahwa selama ini mereka sudah hidup bersama di satu perumahan.

"Jadi Rianty sama Elvano sepupuan, Pa?" tanya Rianty yang masih tak percaya dengan kenyataan.

"Iya sayang."

"Ini gak mungkin kan, Pa?" Rianty tidak tau apa yang dia rasakan sekarang. Hanya saja Rianty kecewa dengan kenyataan yang cukup mengejutkan ini. Bukankah harusnya Rianty senang karena ternyata Elvano adalah sepupunya. Dan pasti akan jadi kakaknya.

Sedangkan Elvano hanya diam terpaku. Masih cukup terkejut dengan kenyataan yang membuat hatinya hancur.

Rianty berlari keluar dari rumah sakit. Masih dengan wajah tidak terbaca saat itu. Pikirannya benar-benar tak mau menerima kenyataan itu. Elvano dengan sigap ikut berlari menghampiri Rianty.

"Kamu enggak papa, Ri?" tanya Elvano mencoba terlihat biasa saja.

"Aku belom bisa terima kenyataan ini, Van. Aku gak tau kenapa. Harusnya aku seneng kamu jadi sepupu aku, berarti aku bener-bener punya abang," Rianty sudah menangis lagi. "Jujur aku kecewa sama kenyataan ini. Jadi aku pernah pacaran sama sepupu aku sendiri? Itu gak lucu, Van!"

"Aku juga kecewa sama kenyataan ini, Ri. Aku gak nyangka ternyata kita sepupu. Papa kita saudara kandung. Jadi selama ini aku jatuh cinta sama sepupuku sendiri? Dan kamu bener, Ri, itu gak lucu! Bener-bener gak lucu!"

"Aku selalu berusaha terlihat baik-baik aja saat kamu sama cowok lain, Ri. Tapi aku gak bisa bohongin perasaan ini terus-menerus. Udah saatnya aku jujur," Elvano ingin mengungkapkan semua keluh kesahnya. "Aku mencintai kamu dari dulu, Ri. Dan aku baru berani bilang beberapa bulan lalu yang berujung kita pacaran. Dan beberapa bulan setelahnya kita putus, dan itu aku yang minta bukan?"

Rianty mengangguk.

Elvano tersenyum nanar lalu melanjutkan lagi perkataannya. "Kalo kamu mau tau aku gak ikhlas saat itu. Bahkan kamu dengan mudahnya mengiyakan permintaan aku. Tapi aku selalu optimis, aku berpikir aku akan mudah dapetin kamu lagi dengan alibi orang tua kita menjodohkan kita. Itu sebabnya aku keliatan biasa aja saat kamu sama cowok lain," Elvano membenarkan posisi duduknya sebelum melanjutkan pengakuannya. "Tapi semua itu gak berjalan lancar semenjak Jovi hadir dihidup kamu, membuat cerita baru dalam hidup kamu. Kamu tau aku kan, Ri? Iya, aku berpikir optimis lagi. Kamu akan jadi milikku seutuhnya."

"Tapi sekarang pemikiran optimisku harus kalah dengan kenyataan. Kenyataan dimana ternyata kita saudara sepupu. Dan harusnya yang paling marah dengan kenyataan ini aku, Ri, bukan kamu. Karena kamu udah ada Jovi. Sedangkan aku? Masib berharap kamu jadi milik aku," Elvano menertawakan kebodohannya sendiri. "Yang jadi pertanyaannya sekarang, bagaimana mungkin aku mencintai adik sepupuku sendiri?"

Rianty tertegu. Tidak menyangka dengan Elvano yang berpikiran seperti itu selama ini. "Van, aku gak tau kalo selama ini kamu berpikiran kayak gitu."

"Aku egois ya, Ri? Aku mau milikin kamu seutuhnya suatu saat nanti. Tapi sekarang aku harus terima kenyataan tentang ini semua."

"Ini udah takdir, Van. Kita gak bisa ngerubahnya. Kamu gak boleh cinta sama aku lagi!" Rianty berusaha menjadi lebih dewasa saat ini.

"Tapi gimana sama perasaan aku, Ri?"

"Van, gak semua yang kamu cinta itu harus kamu miliki. Ada yang memang harus kamu ikhlasin."

"Tapi, Ri..."

"Lupain aku, Van. Jangan lanjutin perasaan yang salah itu." Rianty kemudian beranjak pergi. Meninggalkan rumah sakit.

Perihal Mamanya Rianty sudah tidak kawatir. Ada Papanya, dokter serta rekan medis yang akan menjaga Mamanya. Rianty memilih pulang ke rumah untuk menenangkan pikirannya saat ini. Setelah mengetahui semua pemikiran Elvano selama ini tentangnya.

Seegois itukah Elvano ingin memilikinya? Setelah mendengar itu semua dari mulut Elvano, Rianty jadi tau bahwa rasa yang dimiliki Elvano bukanlah cinta. Melainkan obsesi yang menginginkan lebih dan lebih.

Rianty menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Pikirannya masih sekacau ini. Perkataan Elvano terus terngiang di kepalanya. Ditambah lagi dengan masalahnya dengan Jovi yang belum selesai tadi. Karena Rianty buru-buru ke rumah sakit dan menghiraukan panggilan Jovi.

Rianty menghela nafas gusar. Melihat benda pipih kepunyaannya. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dan Jovi masih belum mengabarinya walau hanya sekedar meminta maaf. Ia meletakkan kembali benda pipih itu di kasur dengan asal. Kemudian mulai memejamkan matanya. Masih dengan baju sekolah yang sudah terlihat lusuh karena dipakai seharian ini. Hari yang cukup melelahkan bagi Rianty. Hari dimana dia mengetahui bahwa dirinya dengan Elvano adalah sepupu. Rianty pun terlelap, tidak peduli dengan seragamnya yang lusuh dan bau keringat. Pikirnya besok sudah tidak dipakai.

*****

ADRIANTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang