CP 15

33.7K 2K 41
                                    


Happy Reading༊*·˚

"Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh."

Terdengar suara serak Kyai Jakfar mengucap salam yang di jawab serentak oleh santri dan juga para tamu. Termasuk Ana dan Lina.

"Saya.. meminta waktunya sebentar malam ini, untuk memperkenalkan putra saya satu-satunya yang baru datang dari Turki beberapa minggu yang lalu."

Kyai Jakfar merangkul pemuda di sampingnya sambil tersenyum bangga.

"Namanya, FAHMI ANSHORI."

Terdengar suara tepuk tangan serentak dari santri dan juga para tamu.

Tak sedikit pula santri putri yang histeris. 

Menangis, bahkan ada yang pingsan karena bahagia. Sedang Ana, ia terpaku dalam diam. 

Matanya tak bisa berkedip melihat senyum Anshori yang merekah sambil mengatupkan tangan di dadanya memberi salam pada yang lain.

Suara berisik dibelakangnya sama sekali tak terdengar olehnya. 

Yang ada hanyalah kenangan-kenangannya bersama Anshori.

Saat bertubrukan di depan kelas setelah dosen pergi karena panggilan Gus Fahmi. 

Ekspresi Anshori saat dirinya bercerita tentang kekecewaannya pada Gus Fahmi. 

Saat semua pesannya tak pernah mendapat balasan dari Anshori. 

Saat mendapat sepiring makanan dari dapur dhalem yang ternyata memang hanya keluarga dhalem saja yang bisa makan di sana. 

Saat Anshori begitu sibuk dengan dering telponnya. 

Saat ia menyatakan perasaannya pada Anshori tadi pagi, dan Saat Anshori harus pergi untuk menjemput Ning Aisy.

Benar Ning Aisy. 

Tatapan Ana beralih ke arah perempuan cantik di depannya yang tampak terlihat bahagia sambil bertepuk tangan juga. 

'Ning Aisy pastilah dia'  Batin Ana. 

Wanita yang mungkin memang benar telah dijodohkan dengan Anshori sejak kecil. Bukan, bukan Anshori lagi. Tapi Gus Fahmi.

Benar, bahkan tadi pun dia sudah meperkenalkan dirinya sebagai Gus Fahmi. 

Kertas dengan nama itu, nama yang sudah Ana pahat di hatinya, nama yang sama seperti yang di ucapkan Kyai Jakfar barusan, FAHMI ANSHORI. 

Ana saja yang begitu bodoh, hingga tak menyadari hal itu. Dirinya tak berhak memanggil Anshori lagi. 

Bahkan mungkin, seharusnya dia pergi dari sana secepatnya. 

Jangan sampai perasaannya akan tambah membuatnya malu.

Embun hangat yang semula ia tahan sudah tak kuasa terbendung, mengalir dalam keheningan yang Ana rasa.

Tersadar, ada genggaman lebih erat lagi di tangannya. Dilihatnya sahabat yang juga tengah mengusap air matanya dengan sebelah tangannya.

"Maaf Lina! Sungguh, aku tak bermaksud..." suaranya tercekat.

Mungkin permintaan maafnya tak pernah terdengar oleh Lina karena bertambah riuhnya suara santri saat Gus Fahmi mengucapkan salam menggunakan microfon dan mulai memberi sambutan sebagai ahlul bait pesantren.

Istighosah dimulai dengan di pimpin langsung oleh Gus Fahmi. 

Suara merdu yang semula telah membuat jantung Ana berdebar itu kini malah menyayat hati Ana.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang