Happy Reading 🌵Sepanjang perjalanan pulang, Gus Fahmi dan Gus Azmi sama-sama mengulum senyum di bibir mereka.
Bahagia dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka sibuk dengan pikiran dan rencana-rencana yang akan mereka siapkan untuk melamar Ana.
Sementara Ana, masih harus duduk di depan Nyai Arofah bersama Ning Syila. Seusai sholat berjama’ah maghrib, biasanya Ana memanglah datang ke dalem untuk menyetor hafalannya pada Ning Syila atau Nyai Arofah. Entah mengapa hari itu rasanya ada debar tak menentu di dada Ana, saat Nyai Arofah mengirimkan pesan pada salah satu abdi dalem untuk memanggil Ana.
“Ana, jika… ada seorang laki-laki yang mau meminang kamu hari ini. Apa kamu siap untuk menerimanya?”
Ana terdiam. Kepalanya tertunduk, takdzim. Debar di dadanya makin menggebu. Benarkah yang dia pikirkan tentang Gus Fahmi tadi? Secepat itukah Gus Fahmi mengambil tindakan? Seolah ia tak ingin lagi kehilangan Ana. Ada senyum di bibir Ana dalam diamnya.
Ning Syila menyipitkan matanya, menelisik pandangannya ke arahnya Ana yang mencoba menyembunyikan senyumnya.“Sepertinya Ana setuju, Umi!” tuturnya tiba-tiba. Sontak Ana mengangkat wajahnya, kaget.
“Bener Ana?” tanya Nyai Arofah memastikan.
Ana menggigit bibirnya, belum berani mengiyakan tawaran Bu Nyai.“Dia seorang anak kyai dari pesantren besar, penghafal Alquran, lulusan Turki, paham hadist dan asbabun nuzulnya juga. Insyaallah, sholeh dan bertanggung jawab. Kamu bisa belajar agama lebih banyak lagi padanya kalau sudah resmi menikah dengannya. Bagaimana?”
Benar, gak salah lagi.
Pasti yang dimaksud Bu Nyai adalah Gus Fahmi.Jantungnya semakin berdebar, saat ia memutuskan untuk menganggukkan kepalanya. Ning Syila dan Bu Nyai Arofah sontak tersenyum bahagia. Ning Syila sendiri langsung menarik Ana ke dalam pelukannya.
“Selamat ya An! insyaallah kamu pasti bahagia bersamanya.” Bisiknya sambil mengelus-ngelus punggung Ana. Ada linangan air mata bahagia di pipi Ana. Ia mencium tangan Nyai Arofah takdzim. Air matanya bertambah deras saat Nyai Arofah membelai lembut kepalanya seraya berdawuh,
“Insyaallah besok, setelah wisuda, kami akan datang ke rumahmu secara resmi untuk mengkhitbahmu. Baru kemudian, akan dilaksanakan acara lamaran. Walau bagaimanapun, kamu masihlah tanggungan kedua orang tuamu. Jadi, keputusan mereka penting untuk masa depanmu!”
Ana menyeka air matanya. Ia bahagia. Benar-benar bahagia. Hingga air matanyapun tak kuasa ia bendung. Mungkin akan ada tanda tanya di benak Ning Syila maupun Nyai Arofah karena reaksinya. Namun, Ana berjanji dalam hatinya, akan menceritakan semuanya pada Ning Syila tentang semua perasaannya jika air matanya sudah berhenti mengalir.
Agar Ning Syila tahu, bahwa sebenarnya, hal itulah yang sangat ia tunggu setahun terakhir ini.
Bukan karena ia sudah merasa pantas untuk Gus Fahmi. Melainkan karena ia ingin, Gus Fahmilah yang akan membimbingnya menuju surga-Nya. Laki-laki yang namanya selalu ada di setiap doanya. Laki-laki yang menjadi alasannya untuk menjadi lebih baik lagi sebagai muslimah. Laki-laki yang sejak dahulu sudah memiliki hatinya.
_BFA_
“Nyai Arofah tadi telfon Umi, bener yang dikatakan oleh beliau, Le?” tanya Nyai Halimah memastikan pada Gus Azmi yang barus saja datang dan mencium tangannya.
Kyai Kholil yang tengah asyik mengkaji kitabnya, ikut menoleh karena pertanyaan istrinya.
Gus Azmi tersenyum, lalu duduk di samping sang umi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]
Teen Fiction[SUDAH DI TERBITKAN] sekelumit tentang... #Ana : Perempuan yang mempunyai sifat ceria, ceplas ceplos dan santri baru yang mondok karena rasa ingin taunya, mengenai penyebab kakak sepupunya yang tiba tiba pergi ke Turki tanpa pamit padanya. dan Pen...