CP 61

13.4K 1.1K 277
                                    

Part nya emang udah abis weh, udah di hapus tahun lalu.

Cma ada beberapa part doang yang nyisa di sini, karena ketentuannya kalo udah di terbitkan harus di hapus partnya.

So?

Ya, pasrah, cba aja scrool, soalnyaa ada beberapa part yang nyelip lupa di hapus.


Happy Reading🍀

"Maaf, Nay, aku gak bisa ke pameran sekarang. Ada yang harus aku lakuin, assalamu'alaikum!" Bagus meraih ranselnya, lalu berlari mengikuti langkah Ana keluar dari resto.

Ia berhenti sejenak di depan pintu, memperhatikan kemana Ana dan teman-temannya melangkah. Lalu, masuk ke dalam mobilnya dan langsung mengikuti mobil Ana.

Sementara Naya, masih mematung di tempatnya. Ia terduduk, menatap kepergian Bagus.

Cokelat kocok di depannya nyaris tak tersentuh. Dan ia pun baru menyadari, bahwa Bagus masihlah mencintai sosok Ana yang beberapa waktu lalu hanya ia dengar lewat cerita Bagus.

_BFA_



Sepanjang perjalanan, Ning Syila hanya bisa menatap Ana yang terus menerus mengunci mulutnya. Iapun tak berani masuk terlalu jauh ke dalam ranah pribadi Ana. Sebagai manusia biasa, pikirannya juga tak lepas dari prasangka. Mungkin, laki-laki tadi yang membuat Ana selalu menangis setiap malam saat baru masuk ke pesantrennya.

Mungkin, laki-laki tadi yang juga membuatnya nyaris tak mau membicarakan tentang ikhwan. Walaupun sesekali Gus Ahmad menggodanya dengan menjodoh-jodohkan dia dengan beberapa teman-temannya. Ana sama sekali tak bergeming. Ia pasti hanya tersenyum, lalu menghindar dari percakapan.

Uminya, Bu Nyai Arofah, tak pernah menanyakan alasan dari tangisannya setiap malam. Karena di setiap Uminya menderas Alquran setelah sholat malam, Ana selalu larut dalam sujud panjangnya dengan isak tangis yang cukup menarik perhatiannya.

Dulu, saat baru pertama kali masuk Pondok Pesantren Al-Hidayah, Ana tak hanya menangis di saat sepertiga malam saja. Hampir disetiap sholatnya, ia selalu menemui Ana dalam keadaan bermata sembab. Bahkan tak jarang, saat ia berjamaah di samping Anapun, ia selalu mendapati Ana menahan isaknya dengan beberapa usapan kecil dari tangannya. Seolah tak ingin air matanya jatuh membasahi mukenanya.

Hingga saat Ana memutuskan untuk berpuasa dan berlebaran di pesantren. Ning Syila memberanikan diri untuk menawarkan sebuah pekerjaan padanya, hanya karena ingin tahu kehidupan Ana. Cerita apa yang sebenarnya ada dibalik tangisannya? Jika ia bisa membantunya keluar dari masalahnya, maka itu yang akan ia lakukan. Namun, hingga saat ini, Ning Syila masih belum mampu mengorek apapun dari Ana. Hanya sedikit cerita dari tasbih yang selalu ada di pergelagan tangan Ana. Tasbih yang selalu menemani malam-malam Ana dengan tangis.
Romadhon tahun pertama Ana di pesantren, Bu Nyai Arofah memberinya tugas untuk membantuk Bu Remi di dapur. Menyiapkan buka dan sahur untuk keluarga pesantren.

Karena Pondok Pesantren Al-Hidayah hanya pondok kecil yang berada di dekat pesisir pantai, maka santrinyapun tak sebanyak Pondok Pesantren Al-Furqon ataupun Nurul Quran. Rata-rata dari mereka adalah anak-anak yang rumahnya tak begitu jauh dari pesantren. Yang setiap liburan pesantren, mereka bisa pulang ke rumah masing-masing.

Ana juga diajak melaksanakan sholat berjamaah dan sholat taraweh bersama keluarga dalem. Setiap sore, Ning Syila selalu mengajaknya berjalan-jalan di pantai sambil lalu mengulang-ngulang hafalannya.

Terkadang, Ning Syila juga memberikan soal tanya jawab mengenai ashbabun nuzul dari beberapa ayat Alquran atau hadist Nabi. Gus Ahmad, suaminya juga kadang ikut memberikan beberapa pertanyaan sulit untuknya. Yang mengharuskan ia untuk belajar lebih giat lagi dengan mencari tau dari Nyai Arofah ataupun Kyai As'ad, Abahnya.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang