CP 49

23.3K 1.4K 86
                                    

Double up 😘

Happy Reading 🌱

Bagus memutar tasbihnya perlahan setelah ia menyelesaikan salam dalam sholatnya.

Matanya terpejam. Ada butiran air kecil mengalir dari kelopak matanya, sementara bibirnya terus menerus berdzikir menyebut nama-Nya.

Sejak pulang dari rumah Ana, pikirannya benar-benar tak bisa berfikir jernih.

Hatinya terasa dihujam tombak, walau ia tak sedang berperang saat ini. Perkataan Bunda Ana yang sekaligus Tantenya itu terus menerus terngiang. Dan wajah polos Ana yang sejak dulu selalu menemaninya mulai tertata kembali dalam ingatannya.

"Tante mau tanya, apa Bagus tau tadi Ana pergi sama siapa?"

"Maksud Tante?"

"Begini Bagus, jangan salah faham dulu. Kami bertanya karena tadi mendapati Ana pulang dalam keadaan menangis." Ayah Ana mencoba menenangkan.

Bagus mengangguk. Rasa bersalah yang jauh lebih besar tengah menggerogotinya sekarang.

"Dan tadi Ana juga sudah sempat cerita, kalau Bagus sempat menegurnya," Ayah Ana melanjutkan.

Bagus membenarkan letak duduknya. Berusaha lebih tegap untuk lebih bisa mengatur nafasnya yang mulai tak tenang.

"Yang mau Tante tanyakan adalah, apa Bagus tau Ana tadi bersama siapa?" tanya Bunda Ana seraya menatap Bagus penuh harap.

"Maaf Tante, Bagus minta maaf. Tadi Bagus tidak bermaksud untuk menegur dan memarahi Ana. Bagus hanya..."

"Tante tau, niat Bagus baik. Tante hanya ingin tau, siapa orang yang disukai Ana," Bunda Ana memotong penjelasan Bagus.

Bagus terdiam. Sungguh hatinya tak bisa menerka-nerka, karena ia terlalu takut. Takut bahwa yang dimaksud Tantenya adalah Ana menyukai Gus Fahmi.

"Kata Ana, pemuda itu tengah sakit sekarang. Apa Bagus tau siapa orangnya?"

Bagus memang tengah menatap Tantenya. Tapi pandangannya kosong. Tangannya saling bertautan erat. Seolah menahan emosi yang mungkin sebentar lagi sudah tak bisa ia bendung lagi.

Beruntung, suara ponselnya menyadarkannya sebelum rasa sakitnya terlihat lebih jelas di depan orang tua Ana. Ia beralasan menjauh untuk menerima telfon. Lalu berpamitan dengan memberi alasan lain bahwa ia tengah ditunggu patner bisnisnya untuk meet up.

Ayah dan Bunda Ana menatap kepergian Bagus yang bukan menaiki motornya, namun malah menuntun motornya keluar dari pagar. Mereka berdua berpandangan melihat sikap Bagus yang langsung berubah.

Sampai tatapan dari Bunda Ana berubah menjadi sebuah kesimpulan yang juga terbaca oleh suaminya.

Bagus memarkir motornya di luar pagar Ana. Ia terduduk lesu di samping motornya. Seolah tak bertenaga, ia mencoba menekan angka satu di ponselnya. Berharap telpon itu akan tersambung dan mendapat sambutan. Ternyata tidak.

Tangannya beralih memijat kepalanya perlahan. Menahan ribuan rasa sakit di hatinya. Berharap apa yang didengarnya barusan hanyalah mimpi. Sekali lagi ia mencoba menelpon nomor yang sangat ingin ia hubungi. Hasilnya tetap nol. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Begitulah bunyinya.

Ia menghela nafas berat. Air matanya mulai menggenang di matanya yang memanas. Tangan kirinya beralih menekan tengkuknya.

Wajahnya menengadah, melihat kilauan cahaya matahari dari sela-sela dedaunan di atasnya. Mencoba menawarkan tempat lain bagi air matanya agar tidak terjatuh.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang