CP 23

30.5K 1.9K 64
                                    

Happy Reading 🌱

"Kalau Ana saja yang jadi istri Kak Bagus, gimana?"

Mata Ana membulat mendengar pertanyaan Bagus.

Begitu juga dengan Gus Fahmi. Ditambah dengan ekspresi Bagus yang tidak sedang main-main menatap Ana.

Suara riuh dari santri seolah hilang dari pendengaran mereka. Detak jantung yang berlomba dengan bunyi detik jam tangan mereka. Seolah berubah menjadi seperti suasana dalam ruang ujian tesis. Bagus tak mengedipkan mata sekalipun pada Ana. Begitu juga dengan Gus Fahmi yang ikut menunggu jawaban Ana.

"Hahaha." Bagus tergelak sambil menunjuk wajah Ana yang mulai terlihat kebingungan.

Matanya yang membulat perlahan berubah menjadi tatapan kesal pada Bagus. Gus Fahmi menghela nafas lega melihat tawa Bagus.

"Iiih!"

"Aduuhh.... Sakit sakit Ana!" Bagus merintih seraya memegangi lengannya yang dicubit oleh Ana.

"Kak Bagus gak lucu ya, sekali lagi Kak Bagus bercanda kaya  gini, jangan pernah bicara sama Ana lagi!" Ana berlari pergi meninggalkan mereka berdua.

Bagus tersenyum seraya menoleh ke arah Gus Fahmi yang terlihat lega, "Kamu ikutan tegang juga?" tanya Bagus.

"Gak lucu Gus!" jawab Gus Fahmi yang juga ikutan kesal.

"Kenapa kamu jadi kesal?" Bagus masih tersenyum, heran.

"Itu seperti kamu tengah melamar dia. Tidak akan ada perempuan yang mau dilamar dengan cara seperti itu."

"Aku hanya mencoba, dan ternyata aku kurang beruntung."

"Maksudnya?"

"Melihat mata Ana tadi, aku jadi tau, Perasaannya tidak sama denganku."

"Makanya, aku mencoba mengalihkannya menjadi candaan, Agar ia tak terbebani dengan perasaanku."

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Keputusanmu bagaimana? Menunggunya atau melepaskannya?"

"Aku akan menunggu, tapi.. jika dia sudah memiliki tambatan hati. Mungkin aku harus mundur." Bagus mengelu-elus lengannya yang masih perih karena cubitan Ana.

"Lalu bagaimana jika ada yang mengkhitbah Ana?"

"Itu urusan Ana, selama dia tidak berlari ke arahku, maka aku pun tak bisa merangkulnya." Gus Fahmi menghela nafas perlahan, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke arah panggung.

Tempat di mana Ana dan teman-temannya tengah melaksanakan tugasnya.

_BFA༊*·˚

Gus Fahmi duduk di samping Ning Aisy, menunggu di lobi kedatangan insternasional. Mereka tiba lebih awal dari jadwal. Sudah hampir satu jam mereka duduk disana.

Bersama Jamal, salah satu santri yang juga biasa di bawa Kyai Jakfar untuk memandu jalan. Ning Aisy menoleh ke arah Gus Fahmi yang tampak gelisah.

"Kenapa Kak? Kak Fahmi melupakan sesuatu?"

Gus Fahmi mengangkat alisnya sebelum akhirnya memberi jawaban dengan gelengan kepalanya.

Ia mengambil handphonenya. Suara sambungan telpon.

"Assalamu'alaikum!" suara di seberang.

"Wa'alaikum salam, bagaimana perkembangan di sana?" tanya Gus Fahmi.

"Alhamdulillah, tinggal di poles dikit lagi insyaAllah sudah selesai, habis itu nunggu check sound dari bagian perlengkapan putra."

"Apa bisa kirim videonya padaku? Atau aku video call saja denganmu?"

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang