CP 29

29.7K 1.8K 83
                                    


Happy Reading🌱

Hari hari berlanjut dengan segala kesibukan Ana sebagai mahasiwi.

Begitu juga dengan berbagai macam lomba menyambut Hari besar Maulid Nabi Muhammad SAW.

Kesibukannya sedikit lebih meringankan perasaannya.

Walau terkadang rasa itu masih sering menyeruak di antara doa dan sholat malamnya.

Begitu juga dengan Gus Fahmi yang mulai menyibukkan diri dengan segala kegiatan kepesantrenan.

Mulai dengan masalah internal pesantren hingga tugas-tugas yang dibebankan sang Abah untuk menggantikannya dalam urusan eksternal pesantren.

“Le, besok Pamanmu datang! Kalau bisa jangan kemana-mana ya?"

Ujar Bu Nyai Sa’diyah seraya mengaduk kopi untuk Kyai Jakfar.

Gus Fahmi yang bersiap untuk pergi ke acara rapat pesantren menghentikan langkahnya.

“Sama Bibi juga?” tanyanya kemudian.

“Iya, sekeluarga."

“Oh, inggeh... Insyaallah.”

Gus Fahmi mencium tangan Abah dan Uminya, pamit.

“Kenapa tidak langsung besok kita bicarakan mengenai Fahmi dan Aisy Bah?” usul Bu Nyai.

“Apa tidak perlu kita membicarakan dulu sama Fahminya Mi?”

“Untuk apa? Toh Fahmi juga tidak terlihat menyukai wanita lain.”

“Kan kita tidak tau Mi, yang terlihat belum tentu sama dengan hatinya kan?”

“Kalau Umi lihat, Fahmi sudah cocok dengan Aisy. Lagipula, mereka juga sudah besar bersama. Sudah ngerti pribadi masing-masing to Bah.”

Kyai Jakfar menyeruput kopinya.

“Masalahnya, Fahmi laki-laki Mi! Dia punya hak penuh atas pilihannya. Berbeda dengan Aisy yang memang harus menurut apa kata Abah dan Uminya karena dia masih gadis,” Kata Kyai Jakfar.

Kyai Jakfar tersenyum melihat Bu Nyai Sa’diyah menghela nafas.

“Kenapa Mi?”

Bu Nyai sa’diyah menunduk.

“Kalau mereka sudah ditakdirkan berjodoh, sekalipun tanpa usaha kita pun, mereka pasti akan bersama Mi.”

“Paling tidak kan kita dari pihak laki-laki toh Bah, kita yang harus punya inisiatif untuk mencarikan calon buat putra kita. Apalagi Fahmi itu tidak punya saudara lainnya. Kita juga tidak muda lagi, sudah waktunya nimang cucu."

Kyai Jakfar tertawa ringan. Ia meraih kitab Lubabul Hadistnya.

“Iya, nanti kita coba bicarakan. Tapi Abah mau bicara dulu sama Fahmi. Abah tidak mau Fahmi nanti merasa terbebani dengan keputusan kita,” Ujarnya sebelum membuka kitab di tangannya.

Bu Nyai Sa’diyah tersenyum lega seraya mengangguk setuju. Matanya berbinar penuh pengharapan.

_BFA༊*·˚

Ana berada di perpus saat Gus Fahmi masuk ke dalam perpus dan mengontrol administrasi perpus bersama beberapa pengurus lainnya.

Ana mengambil langkah mundur perlahan untuk bersembunyi diantara rak-rak yang berdiri gagah di sekitarnya.

Ia menutup mata menahan debar jantungnya.

Gus Fahmi melihat cermin yang tertempel di samping lemari kunci loker di belakang petugas.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang