CP 55

30.4K 2.5K 327
                                    

Buat nemenin yang lagi di rumah aja 🌱








Happy Reading 🌱

"Abah," Gus Fahmi mencoba menyambangi Kyai Jakfar yang tengah asyik dengan korannya.

Walapun seorang Kyai, Kyai Jakfar bukanlah orang yang mengenyampingkan urusan yang terjadi di dunia. Informasi tetap dia ambil dari beberapa media, selain televisi, koran juga menjadi salah satu sumber informasi untuknya. Menurutnya, informasi mengenai kejadian di dunia bisa juga menjadi pelajaran hidup baginya.

"Hemm." Kyai Jakfar menoleh sambil mengangkat alisnya, melihat siapa yang kini ada di sampingnya.

Beliau langsung melepas kacamatanya, dan melipat surat kabar di tangannya. "Ada apa?" ujarnya kemudian.

"Fahmi sudah memilih calon istri untuk Fahmi."

Alis Kyai Jakfar makin terangkat, kali ini dengan seutas senyum yang tertarik di bibirnya.

"Oya? Siapa?"

"Nanti, kalau dia sudah kembali ke pesantren, insyaallah Fahmi akan langsung kenalkan sama Abah dan Umi."

"Kembali ke pesantren. Berarti dia masih nyantri?"

"Inggeh." Gus Fahmi tersipu.
Kyai Jakfar menepuk lengan putranya dengan sedikit terkekeh.

"Alhamdulillah kalau begitu. Sudah ngasih tau Umimu Le?"

"Belum Bah, nanti saja sekalian dikenalin."

"Iya, iya, boleh." Kyai Jakfar mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tapi Bah," Gus Fahmi tampak ragu untuk meneruskan ucapannya.

"Kenapa?" Masih dengan tenangnya, Kyai Jakfar menatap putra semata wayangnya itu.

"Dia tak sebaik Aisy dalam hal ilmu agama." Gus Fahmi nampak cemas menunggu tanggapan dari sang Abah. Ia terus menatap Kyai Jakfar yang mulai mengalihkan pandangannya ke langit.

"Fahmi dengarkan Abah. Tidak semua wanita yang mempunyai ilmu agama yang baik itu baik buat kita. Bahkan kadang, Allah malah menjodohkan seorang laki-laki yang sudah mapan ilmu agamanya dengan perempuan yang justru tidak tau apa-apa dalam hal agama. Bukan berarti janji Allah bahwa laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula itu tidak benar. Justru karena kebaikan yang dimaksud Allah adalah, tolak ukurnya ada pada kita manusia, tapi ketentuannya ada pada Allah. Mengerti maksud Abah?"

Gus Fahmi mengangguk lega. Seolah sudah mendapat lampu hijau dari sang Abah, Gus Fahmi makin memantapkan perasaannya.

"Baik buruknya seseorang itu bukan kita yang bisa menentukan, tapi Allah. Allah mempunyai kriteria sendiri tentang baik dan buruk. Makanya terkadang, apa yang menurut kita baik, belum tentu baik di mata Allah. Begitupula sebaliknya, yang buruk menurut kita, bukan berarti buruk di mata Allah." Kyai Jakfar menoleh ke arah Gus Fahmi.

"Berdoa saja, minta yang terbaik sama Allah. Kalau Allah memberi ijin kamu untuk mempunyai rasa pada pilihan kamu sebelum menikah, maka tidak mustahil pula bagi Allah untuk mempersatukan kalian. Yang terpenting, tetaplah jaga perasaan kamu agar tidak menjerumuskan kamu pada hal-hal yang menyebabkan kamu berdosa."

"Insyaallah Bah." Gus Fahmi

mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tapi Umi..."

Kyai Jakfar kembali membuka lipatan korannya.

"Wes, sekarang yo tugasmu buat bujuk Umimu. Wajar Umimu begitu. Sebagai Ibu, tentu dia ingin yang terbaik buat putranya. Walau kadang bisa buta pada hakikat kebaikan yang sebenarnya. Tapi, kalau untuk kebahagiaan putranya, Ibu mana yang masih mau kekeuh sama keinginannya? Didoakan juga Umimu. Tawassulannya di tambahin lagi, biar bisa lunak hatinya! Iya toh?"

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang