CP 33

26.5K 1.7K 67
                                    




Happy Reading🌱


"Lah kok bisa Kholil itu membiarkan Azmi memilih calon istri yang hanya santri biasa?"

Bu Sa'diyah membuka pembicaraan dengan suaminya di ruang tengah.

"Kenapa lagi?" Kyai Jakfar melirik sejenak lalu kembali fokus pada kitabnya.

"Azmi, calon yang katanya waktu itu ternyata bukan anak kyai."

"Lantas kenapa kalau bukan anak kyai? Toh.. namanya jodoh tak harus anak kyai dengan anak kyai."

"Iya, tapi setidaknya wanita yang dia pilih harus setara keilmuannya."

"Keilmuan yang bagaimana si menurut Umi?"

"Ya.. paling tidak hafidzah, atau lulusan Ma'had Aly?"

Kyai Jakfar tertawa ringan.

"Umi.. Umi.. yang namanya jodoh dari Allah bukan sesuatu yang bisa kita banding-bandingkan kesesuaiannya. Ingat! ! Di dalam alquran surah An-Nur sudah di jelaskan bahwa laki-laki yang baik untuk wanita - wanita yang baik pula. Bukan laki-laki yang pintar untuk wanita yang pintar pula. Jangan sampai salah kaprah dalam memahami ayat itu." Kyai Jakfar melepas kacamatanya lalu menoleh kea rah Bu Nyai Sa'diyah.

"Jangan sampai karena kita yang salah memahami ayat tersebut, kita malah tidak bisa melihat kebahagiaan anak kita sendiri," lanjut Kyai Jakfar.

"Maksud Abah?"

"Fahmi, beri dia kebebasan untuk memilih. Sejak kecil dia tidak pernah membantah Umi. Bahkan, disaat dia seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang yang penuh dari kita orang tuanya, dia rela mengikuti saran Umi untuk melanjutkan sekolah di Arab bersama pamannya."

Bu Nyai Sa'diyah terdiam. Tampak ia tengah berfikir.

"Abah bukan membela Fahmi, hanya saja dia sudah dewasa. Dan Abah rasa dia sudah bisa bertanggung jawab atas pilihannya. Tugas kita hanya mendukungnya, dan memberi pemahaman jika dia salah. Kholil saja bisa percaya pada Azmi tentang pilihannya, masa kita yang lebih tua malah tak bisa memberi kepercayaan pada anak kita sendiri?"

"Masalahnya Fahmi anak kita satu-satunya Bah. Dan dia yang harus menjadi penerus di pesantren ini. Calon pendampingnya juga setidaknya harus paham tentang dunia pesantren seperti dia."

"Itu tugas Fahmi untuk mengajarinya. Bukankah surga seorang istri ada pada suaminya? Abah yakin, jodoh yang disiapkan untu Fahmi pasti bukanlah jodoh yang sembarangan. Melainkah jodoh yang terbaik untuk dirinya, dan pastinya untuk kita juga. Umi kok seperti tidak percaya Allah kalau begini?"

Bu Nyai Sa'diyah tidak bisa berkata-kata lagi. Perkataan suaminya dirasa benar olehnya. Memang tak seharusnya ia terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi anaknya. Toh rumah tangga itu yang akan menjalani bukan dirinya. Melainkan anak semata wayangnya. Namun rasa cemas seorang ibu akan tetap ada sebelum ia tau, siapa sebenarnya yang akan menjadi pendamping putranya.

_BFA༊*·˚

"Bagus?! Tumben ke sini tidak ada Ana?" Bunda Ana Nampak kaget melihat kedatangan Bagus di depan pintunya.

"Sengaja tante. Kalau boleh Bagus pingin ke kamar Ana. Mau ngasih kejutan buat Ana saat dia pulang besok."

"Oalah iya, besok Ana sudah liburan. Masuk Aja! Kamarnya sudah tante rapikan, jangan diberantakin lagi ya?" Bunda Ana mencoba mengingatkan. Bagus tersenyum seraya mengangguk.

Ia segera melangkah menuju kamar Ana di atas. Senyumnya mengembang saat ia membuka pintu kamar Ana. Wangi kamar yang tak berubah. Wangi dari bunga mawar putih yang dari dulu Ana rawat di sudut kamarnya. Bunga yang juga hadiah kelulusan darinya saat SMP.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang