CP 62_"going crazy"

11.3K 1.1K 269
                                    

Happy Reading🌵

"Ana!" Ning Syila mencegah langkah Ana yang hendak keluar dari dapur.

Ia menengok sebentar ke arah ruang tamu. Sepertinya perkiraannya benar, Ana pasti sudah mengantarkan teh barusan, karena di tangannya masih ada nampan.

"Kamu mau kemana?" tanya Ning Syila.

"Mau naruh nampan ini, Ning."

"Aku mau minta tolong kamu, kalau sekarang bisa?" Ning Syila mengangkat tangannya yang tengah memegang note.

"Sudah dapat jawabannya, Ning?" tanya Ana bersemangat.

Ning Syila tersenyum seraya mengangguk.

"Kamu bawa ini ke pantai duluan ya, aku ambil laptop dulu!" Ujar Ning Syila tak kalah bersemangatnya.

"Boleh, saya lihat lebih dulu, Ning?" tanya Ana sebelum Ning Syila pergi.

"Boleh lah, kan kamu yang bikin sebagian pertanyaannya."

Ana tersenyum senang, "terimakasih, Ning!" ucapnya kemudian.

_BFA_

Ana menuju tempat biasa yang sering mereka datangi setiap sore. Sebuah gazebo yang cukup besar, berdiri tegak di tepi pantai. Tempat favorit Ning Syila dan Gus Ahmad.

Ana menjadi orang ketiga yang tau tentang tempat itu. Dan iapun menyukainya.

Ana menyandarkan bahunya ke tiang gazebo, sambil membuka note dari Ning Syila. Alisnya bertaut, melihat jawaban dari setiap pertanyaan Ning Syila. Bukan karena jawabannya, melainkan karena tulisan yang tampak tak asing di matanya.

Lembar demi lembar terus ia buka. Bahunya yang semula menyender, kini sudah tegak.

Ia berjalan mendekati air laut yang menyapa pasir di tepian. Sambil terus memperhatikan tulisan-tulisan di note milik Ning Syila.

Mungkinkah? Dadanya mulai berdegup kencang. Ana melepas sandalnya, dan berjalan lebih ke tengah. Membiarkan air laut ikut menyapa kakinya yang bertelanjang tanpa alas.

Gak mungkin.

Gak mungkin.

Ana menghirup udara di sekitarnya sambil memejamkan matanya. Batinnya berusaha menolak pikirannya.

Ana mencoba menenangkan hatinya dengan menfokuskan diri pada bunyi camar yang beterbangan, beputar-putar di tengah lautan.

Bunyi ombak yang bergulung-gulung kemudian pecah di kakinya. Menikmati warna senja yang juga tercipta walau matanya tengah terpejam menghadap matahari yang mulai beranjak turun. Ia juga membuang perlahan-lahan nafas yang telah ia hirup tadi.

Note di tangannya, ia peluk erat. Gamisnya melambai lambai di terpa angin. Hijab panjangnya juga tengah berkibar, menyingkap tubuh mungil yang berada di balik warna pastel itu. Menarik perhatian seorang pemuda yang juga tengah menikmati senja, tak berapa jauh dari tempatnya.

Ana melepas tasbih di lengannya, dan mulai memutarnya dengan bacaan istighfar. Berharap hatinya tak lagi memikirkan dunia yang membuatnya mengenang masa lalunya. Sementara, pemuda di belakangnya yang tak lain adalah Gus Fahmi, hanya diam mematung, memperhatikan lambaian gamis Ana yang meliuk-liuk.

Pandangannya beralih ke arah sandal yang ditinggalkan Ana di depannya. Senyumnya terurai, mengingat kejadian Ana yang berlari ke arahnya karena ada ular. Ana juga tak memakai sandalnya waktu itu. Setting tempatnya juga hampir sama. Ada gazebo, dan seorang wanita yang tengah menikmati udara senja di depannya. Bedanya, bukan di sawah, melainkan di pantai.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang