CP 47

22.8K 1.5K 77
                                    

Happy Reading🌱

"Assalamu'alaikuuum..." Ana membuka pintu rumahnya seraya mengucap salam.

Bersalaman sekedarnya pada Ayah dan Bundanya.

"Bunda, di depan ada ojek. Ana belum bayar." Ucapnya lesu seraya langsung naik menuju kamarnya.

"Kamu kenapa An?" tanya Bunda bingung.

Ayah yang lagi nyantai baca koran juga hanya melongo melihat tingkah Ana.

"Ojeknya dibayarin dulu, nanti baru ke anaknya!" suruhnya pada Bunda yang memandang heran padanya.

Bunda menurut. Ia langsung bergegas keluar rumah untuk menemui tukang ojek yang ditumpangi Ana.

Ana menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Surban Gus Fahmi yang masih ia pegang sebelumnya kini menjadi tempat tumpahnya air matanya. Ia membenamkan wajahnya diantara tumpukan bantal-bantalnya, menikmati aroma khas dari surban milik Gus Fahmi sambil tersedu.

Bajunya yang semula basah sudah mulai mengering terkena angin, walau masih ada sisa becek di bawah gamisnya.

Bunda berdiri di bibir pintu, memperhatikan putrinya yang tampak ingin sendiri. Namun naluri seorang ibu tetaplah lebih kuat keingin tahuannya daripada memilih untuk memberikan ruang pada Ana. Bunda melangkah mendekati Ana perlahan.

Ayah Ana yang juga mengikuti istrinya menuju kamar Ana memilih untuk berdiri di bibir pintu, mengganti posisi istrinya.

"Ana...!" pelan Bunda menyentuh kepala Ana. Membelainya lembut.

Ana menghentikan tangisannya. Walau masih ada isak yang terdengar, Ana mencoba menghapus air matanya lalu menoleh ke arah Bundanya.

"Ana mau cerita sekarang, atau nanti saja?" karena sang Bunda tau, bahwa Ana bukanlah tipe orang yang bisa berbagi saat kondisi hatinya sudah tenang. Ana lebih gampang dikorek saat ia seperti ini.

Ana bangkit dari tidurnya, duduk bersila menghadap Bunda. Bunda tersenyum lega, karena jika begini artinya Ana mau untuk bercerita saat itu juga.

"Bunda, bisa gak terangin masalah khalwat secara detail?" tanyanya pelan.

Bunda menaikkan alisnya. Sontak ia menoleh ke arah suaminya. Ayah malah hanya tersenyum melihat ekspresi Bunda.

"Memangnya kenapa? Tumben Ana tanya begituan sama Bunda? Ana lagi ada masalah? Bukannya acaranya masih sampai besok ya?" Bunda memberondong Ana dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

"Terangin dulu! Nanti Ana ceritain!" rajuk Ana.
Bunda memberi kode pada Ayah agar bergabung dengan mereka. Ayah tersenyum lalu menarik kursi belajar Ana. Dan mencari posisi nyaman dengan duduk di samping Bunda.

"Khalwat itu maksudnya menyepi, menyendiri atau mengasingkan diri bersama dengan seseorang tanpa ada orang lain di dekatnya. Biasanya kata khalwat itu sering digunakan untuk hubungan antara dua orang yang secara sengaja menyepi dari pengetahuan atau campur tangan pihak lain. Ada juga yang mengarahkan khalwat itu pada kata-kata pacaran di jaman ini. Karena biasanya yang namanya pacaran, identik dengan dengan menyepi berduaan saja dengan pasangan kita yang belum menjadi mahrom kita. Naudzubillah. Tapi .. ada juga yang mengarahkankan khalwat itu seperti saat kita melaksanakan sholat malam hanya sendirian saja di sebuah tempat, bercengkrama dengan Allah, itu juga di sebut berkhalwat. Karena kita menikmati waktu kita bersama dengan sang pencipta. Tanpa ada gangguan dari orang lain." Ayah berhenti sejenak.

"Nah, karena dulu tidak ada yang namanya pacaran, maka sebenarnya dalam islam pacaran itu tidak diharamkan. Yang diharamkan adalah berkhalwat yang menjurus pada khalwat laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom secara sengaja. Karena dikhawatirkan akan ada syaitan di antara keduanya yang akan menjerumuskan mereka pada perbuatan yang justru diharamkan dalam islam, seperti zina. Dan zina sendiri sudah jelas dalilnya dalam Alquran. Bukan hanya melakukan zinanya melainkan mendekatinya saja sudah haram hukumnya. Coba Ana baca surat Al-israa ayat 32 disana jelas dalil tentang kita yang tidak boleh mendekati zina." Ana mendengarkan dengan seksama ulasan Ayahnya.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang