CP 39

28.6K 1.7K 221
                                    


H

appy reading🌱


Ana baru saja keluar dari kamar mandi saat ia melihat Gus Fahmi mengusap-usap kepala Ning Aisy.

Entah di sengaja atau tidak, tapi pemandangan itu benar-benar sukses membuat kondisi hati Ana campur aduk.

Ia terpaksa menghentikan langkahnya dan memilih bersembunyi di balik tembok pembatas antara toilet pria dan wanita.

“Kenapa harus perhatian padaku jika memang hatinya sudah untuk Ning Aisy?” Ana menggerutu kesal sambil mengelap tangannya yang basah dengan surban Gus Fahmi yang dipakainya.

Ingin rasanya ia menarik surban itu dan membuangnya saat itu juga, namun hatinya menolak untuk bersikap sekasar itu pada sebuah benda yang cukup membuatnya terlindungi.

Kejadian itu terus menerus mengusik pikiran Ana hingga saat ia sudah duduk di mobil bersama Bagus.

Semua hening tak bersuara, hanya ada suara Ning Aisy yang samar-samar tengah mengaji di belakang.

Ana membuang mukanya keluar, mencoba menghilangkan kekesalan hatinya dengan menikmati pemandangan di sekitar lokasi menuju Desa Asembagus.

Gus Fahmi tengah memperhatikan punggung Ana yang sama sekali tak menoleh ke belakang, sambil terus memutar tasbihnya berdzikir.

Bagus pun lebih memilih untuk diam daripada mengungkit sikap Ana tadi. Ia ingin memberi waktu pada Ana untuk lebih tenang sebelum ia mencoba mengorek lebih dalam.

Gus Fahmi mencoba memahami Ana lewat ekspresi wajah Ana yang terlihat jelas lewat spion mobilnya.

Jari tangannya bergerak menghitung bacaan dzikir dari bibirnya.

Seperti yang kerap dilakukan oleh para santri yang tidak punya tasbih.

Bagus memutar arah masuk ke sebuah jalan kecil berkerikil.

Melewati beberapa petak sawah yang tertata rapi dengan terasering. Gemericik air jernih yang melewati sisi-sisi jalan menambah suasana desa semakin kental terasa. Di sisi sebelah kanan jalan tertanam berbagai jenis tanaman refugia seperti kenikir, tapak dara, dan bunga matahari.

Berbagai macam warna bunga dari tanaman refugia itu membentuk sebuah perpaduan warna yang memukau.

Tak henti ucapan tasbih keluar dari mulut Ning Aisy dan Ratna.

Mengagumi setiap keindahan yang terhampar jelas di depan mereka. Belum lagi pahatan lukisan dari sebuah gunung membiru di ujung pandangan mereka. Seolah membaur dengan birunya langit yang dihiasi oleh putihnya awan di sekitarnya.

Ana menarik nafasnya dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan sebelum mobil mereka memasuki bagian lain dari desa tersebut. Bagian desa yang tak lagi berupa sawah, melainkan perkampungan warga sekitar yang di mulai dengan adanya sebuah gapura bertuliskan DESA ASEMBAGUS.

Di bawahnya terpasang sebuah spanduk ucapan selamat datang bagi panitia dan peserta FKS.

Beberapa rumah penduduk mulai terlihat. Desain sederhana khas perkampungan Asembagus. Beberapa diantaranya ada yang masih terbuat dari papan kayu, bahkan anyaman bambu yang sudah menghitam warnanya. Halaman rumah mereka yang luas terlihat rindang dengan beberapa pohon mangga bahkan rambutan yang sudah mulai berbuah.

Bagus memasukkan mobilnya ke sebuah pekarangan rumah yang cukup luas dengan sebuah musholla di depannya.

Suasana sudah cukup ramai dengan beberapa kehadiran panitia FKS yang mulai mempersiapkan semua keperluan untuk pembukaan nanti malam.

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang