54_rahasia

29.6K 1.8K 161
                                    

Happy Reading 🌵

Ning Aisy memindah barang-barang dari tasnya.

Dia mendengar tentang kepulangan Gus Fahmi hari ini dari Gus Azmi, dan dia bermaksud untuk menghampirinya. Tas yang kemarin di bawanya cukup besar karena beberapa bekal yang dia bawa juga. Jadi kali ini ia memilih tas yang jauh lebih ringan dan lebih kecil untuk sekedar menyimpan barang-barang seperlunya.

Ada selembar bungkus cokelat yang juga turut turun dari tasnya. Ia menimangnya sesaat, lalu mencoba mengingat kejadian saat di rumah Pak Haryono. Saat Bagus memberi kabar bahwa Gus Fahmi tengah di rawat. Dia yang terburu-buru mengambil tasnya, tak sengaja menjatuhkan sebuah buku sketsa milik Ana yang ada di meja. Hingga saat ia sudah memungut buku sketsa itu, lembaran bungkus cokelat yang kini ada ditangannya kembali terjatuh. Ia langsung memasukkannya ke dalam tasnya tanpa niatan apapun. Karena ia mengira itu hanya sampah dan ia tak ingin mengotori kamar Pak Haryono, ia bermaksud untuk membuangnya saat sudah di luar.

Namun ternyata Allah berkehendak lain. Sampah itu terus terbawa dalam tasnya.
Ia memberanikan diri untuk mengintip tulisan yang ada di balik bungkus cokelat itu. Matanya membulat, tangannya gemetar, bibirnyapun bergetar membaca kalimat demi kalimat di lembar itu. Dengan jantung yang semakin berdebar kencang, ia terus mencoba mencari makna dari setiap kalimat.  Hingga saat tatapannya berhenti di satu kata, seni seviyorum. Matanya mulai memanas.

Kepalanya terasa mendidih, seolah ada gejolak amarah yang dia tahan saat ini. Nama yang tertera di bawah kata itu makin membuat hatinya ngilu. Bertubi-tubi rasa sakit itu menusuk di dadanya.

Kakinya seolah tak mampu menahan tubuhnya. Oleng, ia terduduk di samping tempat tidurnya. Tumpah sudah tangisnya. Dengan tangan yang terkepal meremas selembar bungkus cokelat, ia mengadu dalam isaknya di sela-sela lengannya yang menutupi wajahnya. Kenapa harus Ana? tanya itu berulang-ulang terlontar dari batinnya.
Ingin sekali ia berlari saat ini juga menemui Gus Fahmi. Mencoba mencari penjelasan dari tulisan tangannya. Walaupun ia tak bisa memungkiri bahwa itu benar-benar tulisan Kakak sepupunya, namun harapnya masih melambung bahwa ini semua hanya kesalah pahaman.

Ning Aisy larut dalam sedihnya. Tangisnya terdengar menyedihkan. Ia makin membenamkan wajahnya di atas tempat tidur berwarna cokelat itu. Menyisakan bercak noda air matanya.


_BFA༊*·˚

Ana menuruni tangga, menghampiri Ayahnya yang tengah duduk di ruang tengah.

Sementara sang Bunda dibantu seorang asisten rumah tangganya tengah memasak di dapur.

Sang Ayah melirik sekilas kedatangan Ana yang langsung menyandarkan kepala di bahunya. Tangannya terangkat, menyentuh kening Ana. Senyumnya terukir saat demam Ana sudah tak terasa lagi di telapak tangannya.

Sang Bunda menoleh sebentar, menikmati pemandangan di depannya. Pemandangan yang memang begitu adanya. Walau usianya sudah mulai menjelang dewasa, Ana tetap layaknya anak kecil bagi mereka. Tidur dipangkuan mereka, atau sekedar merebahkan kepala di bahu mereka, tetap Ana lakukan. Tidak terlihat ada rasa risih dari sikap Ana sebagai anak perempuan dewasa pada Ayahnya. Dan merekapun sama sekali tak pernah menegur sikap Ana. Mereka malah menikmati itu. Terlebih sang Ayah yang selalu bisa menjadi tempat untuk bercurah bagi Ana.

“Yah …”

“Heem.” Ayah menanggapi panggilan putrinya.

“Ayah punya kenalan di pesantren lain gak?”

“Kenalan?”

“Ya, Ustad atau siapalah.”

“Untuk apa?”

Cinderella Pesantren༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang