Semuanya adalah tantangan, tapi belum sadar kalau ada tantangan yang menyamar.
.
"Sekarang tuh ya hitungannya kita udah jadi dewasa ya, udah umur dua puluhan."
"Menurut lo, apa sih yang paling sering jadi permasalahan orang dewasa muda kayak kita gini?"
Rara langsung menoleh ke arah speaker radio di pojok atas kantin besar kampusnya, begitu mendengar suara Johnny dan Jeff ketika ia hendak duduk. Diikuti oleh Wildan yang sibuk meneguk air mineral dan duduk di depan cewek itu. Oh, kedua temannya sedang siaran, pantas saja semalam mereka sibuk membujuk Rara lagi untuk mengirim surat ke email stasiun radio.
"Ra, kirim dong surat ke radio," bujuk Jeff saat itu ketika mereka sedang melakukan telepon grup.
"Nanti gue bacain surat lo paling pertama deh, Ra," sahut Johnny juga.
Sudah cukup kemarin ocehan penolakan dosen pembimbing Rara yang membuat cewek itu sakit kepala, jadi ia mengabaikan mereka dengan cara memutuskan sambungan telepon dan menonaktifkan ponsel. Cukup jahat memang, tapi Rara sudah kepalang pusing.
"Gue rasa jadi dewasa dua puluh tahunan kayak kita gini emang banyak kok tantangannya yang harus kita hadapin."
Lho? Suaranya Mas Dhanu? Rara langsung memfokuskan kembali pendengarannya ke arah speaker radio, memastikan pendengarannya tidak salah. Seingatnya hari ini jadwal siarannya Johnny dan Jeff saja, Rara bahkan sampai menghapalkan jadwal siaran mereka berdua.
"Hari ini siarannya katanya bertiga bareng sama Bang Dhanu," jelas Wildan, sukses memecahkan rasa kuriositas Rara sejak tadi dan membuat cewek itu lekas menoleh. "Tadi Jeff cerita pas kumpul."
"Gitu?" tanya Rara sambil melirik arlojinya, menunjukkan saat ini sudah jam 3 sore.
Sebenarnya baik Rara maupun Wildan, mereka sama-sama sedang kurang kerjaan alias gabut karena mereka belum menemukan ide baru lagi akibat penolakan ide oleh dosen pembimbing. Sekarang sudah tidak ada jadwal bimbingan lagi dan mereka ketimbang berada di rumah yang malah membuat makin stress, maka jadilah menetap di kampus sampai sore hari adalah pilihan terakhir mereka. Berbekal laptop yang dibawa ke mana-mana, mereka nggak menyia-nyiakan waktu begitu saja. Jadi sambil menetap di kampus mereka kembali tenggelam dalam dunia internet untuk mengulik informasi.
"Anjir, mata gue perih banget, Win," keluh Rara setelah beberapa saat kembali membuka layar laptop yang sebelumnya mode sleep.
"Jangan dipaksa heh, mata lu masih kepake sampe seumur hidup itu. Jangan sampai pake kacamata," balas Wildan di hadapannya. "Tidur dulu deh lo, laptopnya matiin dulu."
"Nggak deh," tolak Rara dengan dahi berkerut. "Sia-sia nanti."
"Ujian lo masih panjang ya, waktunya juga masih banyak. Nggak usah maksain deh," kata Wildan sambil berdecak sebal. "Loh, Bang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity: Undercover Fate
General Fiction[TAMAT - SUDAH TERBIT] Percaya kebetulan? Atau, lebih percaya semuanya sudah digariskan takdir? Tapi, kalau setiap pertemuan dan percakapan acak terjadi dalam sebuah kebetulan, bagaimana? Itu memang kebetulan atau takdir? "Tatapannya nusuk banget, k...