Selamat datang. Titik baru akan segera menyapa bersama dengan segala persoalan baru.
.
"Belajar tuh capek banget ya. Tapi kalau nggak belajar, gue jadi bodoh."
Itu adalah keluhan Rara sepanjang malam ini sejak ia menatap terus laptopnya, sambil sesekali membuka laporan proposalnya yang sudah dicoret-coret cantik oleh para dosen pengujinya tadi pagi. Sesekali juga ia menguap ketika ia sedang mencoret beberapa poin yang direvisi di laporan proposalnya. Bahkan ia sudah menyiapkan sebotol air putih untuk menemaninya belajar.
Jam dindingnya sudah menunjukkan pukul 11 malam, tetapi Rara masih menatap layar laptopnya dengan teliti ditemani suara bising teve di lantai atas. Tenang, meski kamar Naresh berseberangan dengan kamar Rara dan ruang teve lantai atas berada di tengah, Naresh adalah tipe tidur yang nyaris seperti orang mati—tak mudah terganggu dengan suara bising dan keadaan. Bahkan kalau terjadi mati lampu juga dia tidak peduli kecuali hal yang lebih mendesak lagi seperti terjadi bencana alam.
"Boleh kali otak gue sekali-kali mirip Mbak Maudy Ayunda, biar jadi senang belajar dan tidak suka malas. Ini gue pakai otak sendiri aja rasanya mau botak kepala gue astaga," keluh Rara lagi. "Mau malas tapi mikir, kapan lulusnya kalau gini terus. Mau jadi buah-buahan juga berakhir dimakan. Sabar banget ya."
Padahal Rara sudah berjanji untuk mengurangi keluhannya, tapi sepertinya sambat sudah menjadi bagian dari kamusnya sekarang. Astaga, pikir Rara sambil memegangi kepalanya.
Rara gantian memandangi acara teve tanpa minat, lalu beralih ke arah tas ranselnya yang sudah berantakan. Ransel yang menjadi saksi bisu perjalanan Rara selama 4 tahun kuliah bahkan sudah berhasil melalui seminar proposal juga, rasa-rasanya hanya melihat ranselnya saat ini membuat gadis itu terharu barang sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat kalau selama ini ranselnya kuat juga menampung barang bawaan Rara yang tidak sedikit, ada laptop, botol minum, binder, alat tulis, dompet, sesekali ia membawa alat salat. Kadang benda mati begitu bisa jadi berarti ya.
Rara meraih ranselnya lalu mencoba merogoh isinya. Mari mengecek apakah masih ada harta karun atau tidak, sampai tangan Rara berhasil meraba sesuatu dan mengeluarkannya dari tas. Manik matanya yang hitam kecokelatan otomatis membulat saat tahu apa yang ditemukannya.
"Wih, coklat!!" serunya senang. "Tapi kok ada dua?"
Rara termenung untuk mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia memang ingat kalau satu coklatnya didapat dari Johnny, tetapi satunya lagi ia samar-samar, sampai matanya kembali membulat—pertanda ia mengingat sesuatu.
Tadi siang ketika Rara masih di stasiun radio hendak berjalan keluar menuju pulang, ia tak sengaja berpapasan dengan Johnny dan Khalif yang sedang mengobrol di dekat pintu. Awalnya Rara ingin buru-buru pergi lantaran takut digoda oleh Johnny, tapi panggilan dari Khalif malah sukses membuat gerakan gadis itu terinterupsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity: Undercover Fate
General Fiction[TAMAT - SUDAH TERBIT] Percaya kebetulan? Atau, lebih percaya semuanya sudah digariskan takdir? Tapi, kalau setiap pertemuan dan percakapan acak terjadi dalam sebuah kebetulan, bagaimana? Itu memang kebetulan atau takdir? "Tatapannya nusuk banget, k...