Hidup adalah permasalahan yang berkelanjutan.
.
"Saya nggak suka diri saya."
"Saya juga nggak suka perasaan saya."
"Hal kayak gini wajar 'kan?"
"Ya, seharusnya."
Diiringi bunyi denting pergesekan antar sudip dan wajan penggorengan serta rintik hujan dari luar, Dhanu dan Rara duduk saling berhadapan dalam diam setelah meracau tak jelas. Di penghujung hari ini, langkah mereka berakhir di sebuah warung yang pernah mereka kunjungi. Warung yang pernah mereka singgahi sepulang dari toko buku bekas dulu. Saat itu mereka tak bicara lagi dan memilih sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Saya pernah cerita 'kan ke kamu—walaupun nggak bisa dibilang cerita juga—tentang orang yang dulu saya suka selama tiga tahun, dan udah empat tahun terakhir ini nggak pernah saya lihat lagi, lalu mendadak muncul." Rara memulai kembali pembicaraan setelah memilih menaruh ponselnya dan menghirup teh manis miliknya.
Dhanu yang menjadi pendengar seketika ikut melakukan hal yang sama, kemudian menatap Rara penasaran.
"Orang itu Haris," lanjut Rara pelan.
Sekarang Dhanu mengerti.
Rara tampak terdiam sejenak, kemudian menggumam pelan yang dapat didengar oleh si lawan bicara. "Apa saya tipe orang yang bucin ya? Jadinya, bego gara-gara perasaan suka?"
"Saya pikir semua orang begitu," balas Dhanu. "Kalau dipikir juga saya bego waktu masih pacaran sama Rena."
"Tapi saya lihat Rena juga sayang kamu."
"Tapi itu dulu."
Diam.
"Mungkin ada pembedanya, Mas," sahut Rara. "Oke, memang apa yang terjadi antara kamu sama Rena itu akhirnya cuma jadi cerita usang yang nggak akan pernah kamu ungkit lagi. Tapi kenyataan itu 'kan tetap ada, perkara kamu sama Rena pernah saling cinta. Ada rasa timbal balik yang amat berarti buat selama hidup kamu. Seenggaknya hal begitu sih harus disyukuri walaupun itu bukan lagi hal penting."
Dhanu hanya diam sambil terus mengamati Rara yang memilih memainkan jemarinya.
"Saya nggak bermaksud ngebandingin, tapi seenggaknya Mas nggak berakhir kayak saya."
"Dia tahu perasaan kamu?" tanya Dhanu.
"Ya."
"Reaksinya?"
"Nggak sudi."
Lelaki itu seketika terdiam.
Pun Rara hanya bisa mengembuskan napas panjang sambil menoleh ke arah lain. "Saya emang tolol sih. Masih berusaha ngehargain dia meski dianya bahkan ogah sama saya. Saya tetap nggak bisa benci dia. Tapi untungnya itu cuma dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity: Undercover Fate
General Fiction[TAMAT - SUDAH TERBIT] Percaya kebetulan? Atau, lebih percaya semuanya sudah digariskan takdir? Tapi, kalau setiap pertemuan dan percakapan acak terjadi dalam sebuah kebetulan, bagaimana? Itu memang kebetulan atau takdir? "Tatapannya nusuk banget, k...