Secercah harapan semu itu seperti gelembung, tidak akan bertahan lama, meletup, dan menghilang.
.
Rara mengepalkan salah satu tangannya untuk menutup mulutnya dan sikutnya bertumpu pada meja, sedangkan tangannya yang lain terlipat di atas meja. Wajahnya tampak lebih gelisah, berbeda dengan teman sekelilingnya yang sibuk mengobrol ringan. Meski begitu, Wildan yang berada di sampingnya sesekali melirik gadis itu seolah paham isi hatinya.
"Yaelah, Ra, revisi doang dipikirin, cuma dikit doang. Lagian itu bukan apa-apa dibanding punya gue."
Cuma dikit.
Cuma dikit.
Kenapa orang-orang gampang banget ngomong begitu?
Kenapa orang-orang suka banget menganggap enteng masalah orang lain?
Kenapa harus menyepelekan urusan orang lain?
Kenapa semua hal harus dibandingin sama masalah pribadi?
Kenapa?
Celetukan itu yang terdengar di kuping Rara kontan saja membuat hati gadis itu mendidih. Sambil menggerung gusar, ia melirik ke meja sebrang dan mendapati seorang gadis yang sedang duduk di sebelah Sarah. Gadis itu tersenyum simpul ke arah Rara, seolah memang apa yang ia katakan bukan apa-apa.
Padahal hasil revisi dari dosen pembimbing Rara menguraikan kalau program yang Rara miliki masih belum maksimal sepenuhnya dan perlu ada pembenahan sedikit. Rara sudah mengerjakannya nyaris tanpa tidur berhari-hari sampai gila, sementara Tama sudah menawarkan bantuan pada Rara secara rutin sampai Rara sendiri yang memohon pada lelaki itu untuk meminta bantuannya.
Mungkin bagi orang lain ini bukan apa-apa, tapi Rara mengerjakannya sambil terus menangis lantaran terlalu stres berat.
Melakukan sesuatu hal yang tidak ia pahami meski sudah berusaha itu amat melelahkan. Potensi orang berbeda-beda pada tiap hal, tolong jangan bandingkan apapun karena itu tidak ada gunanya.
"Astaga," keluh Rara dengan nada lelah. "Gue kesal tapi gue nggak bisa marah. Gue lebih peduli sama revisi gue yang belum sepenuhnya beres."
"Jangan didengerin," sahut Wildan sambil menggumam. "Mia emang begitu."
"Gue udah malas urusan sama dia," gerutu Rara. "Wildan, lo gimana sekarang?" tanyanya mengalihkan topik.
"Lumayan, udah tujuh puluh lima persen lah," jawab Wildan.
Seketika Rara memandang Wildan takjub. "Keren, cepat banget!"
"Gue dibantuin sama Bang Tama," ujar Wildan sambil terkikik pelan. "Gila, keren sih dia. Dia pintar banget ngaturnya padahal gue udah pusing sendiri."
"Kak Tama emang keren banget." Rara mengangguk setuju, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Huhuhu, kenapa sih dia keren banget, jadi pengen naksir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity: Undercover Fate
General Fiction[TAMAT - SUDAH TERBIT] Percaya kebetulan? Atau, lebih percaya semuanya sudah digariskan takdir? Tapi, kalau setiap pertemuan dan percakapan acak terjadi dalam sebuah kebetulan, bagaimana? Itu memang kebetulan atau takdir? "Tatapannya nusuk banget, k...