Sesulit apapun, setidaknya masih bisa mensyukuri hal kecil 'kan?
.
Apakah ini menjadi awal perjalanan baru buat Rara?
"Ra, kayaknya bakalan lebih susah deh."
"Maksudnya?"
Seorang laki-laki yang bersama Rara dan Wildan itu tampak menggeleng pelan dan menggumam terus. Saat ini mereka sedang duduk di dekat koridor fakultas yang begitu lengang, dengan suasana yang sejatinya bagi Rara mendadak menegang lantaran penyataan cowok itu.
"Metode yang dipakai sekarang masih jarang, gue belum tahu gimana baiknya buat Rara."
"Kira-kira lo ada solusi nggak, Wan?" tanya Wildan dengan nada penuh harap.
Irwan—cowok yang sedaritadi berbincang dengan Wildan—menggeleng lagi. "Belum yakin gue, Win. Kalau Rara ada referensi, gue coba bantuin. Tapi gue juga nggak bisa janji bantuin sampai tuntas, gue juga belum nemu solusi buat diri gue sendiri."
Tampaknya itu menjadi kecemasan baru bagi Rara.
Maka dari itu, cewek itu memutuskan pulang lebih cepat. Ada banyak pikiran dan kecemasan yang memenuhi otaknya, pun ia belum menemukan bagaimana solusi terbaik yang bisa ia lakukan. Apakah perjalanan panjang akan segera dilalui? Apa kesulitan yang dihadapi dapat diatasi? Bagaimana kalau terjadi hal yang tidak diinginkan? Pikiran Rara memang sudah terlalu jauh, namun itu tetap menjadi inti kecemasan sebenarnya.
"Nararya!"
Rara menoleh dan terkejut saat ia melihat seorang pengendara sepeda melaju kencang di belakangnya, tetapi ia lebih terkejut lagi saat ada seseorang yang langsung menarik lengannya untuk menghindarinya dari pengendara sepeda itu.
Seketika Rara memandang sosok itu yang sama-sama dengan napas terengah-engah.
"Mas Khalif?"
Khalif—cowok itu—mengangguk pelan. "Kamu nggak apa-apa?"
Rara memandang Khalif sebentar, lalu beralih ke arah pengendara sepeda yang sudah berlalu menjauh tanpa merasa bersalah sama sekali. "Nggak apa-apa," ucapnya pelan seraya kembali melihat Khalif. "Mas dari mana?"
"Saya baru ketemu dosen pembimbing saya," balas Khalif.
Rasanya Rara seperti kehabisan kata setelah Khalif menjawab pertanyaannya, jadi ia hanya mengangguk lalu berpaling ke arah lain. Entahlah, rasa kaget di awal perlahan sedikit berubah menjadi rasa gugup meski pikirannya tetap bercabang.
"Kamu ngelamun?"
Lagi, Rara menoleh dan mendapati Khalif sekarang memandanginya. Ugh, rasanya Rara seperti kepergok akan sesuatu. "M-maksudnya?"
Khalif mengembuskan napas pelan. "Kamu tadi kayaknya nggak dengar waktu saya panggilin buat nyuruh minggir sebelum nyaris ketabrak. Lagi banyak pikiran ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity: Undercover Fate
General Fiction[TAMAT - SUDAH TERBIT] Percaya kebetulan? Atau, lebih percaya semuanya sudah digariskan takdir? Tapi, kalau setiap pertemuan dan percakapan acak terjadi dalam sebuah kebetulan, bagaimana? Itu memang kebetulan atau takdir? "Tatapannya nusuk banget, k...