[60] Lembar Baru: Bukan Akhir

7.3K 943 91
                                    

Cerita kehidupan tidak ada yang benar-benar berakhir, seiring perjalanan waktu kaki akan selalu meniti langkah, meninggalkan coretan cerita berikutnya sampai napas terakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita kehidupan tidak ada yang benar-benar berakhir, seiring perjalanan waktu kaki akan selalu meniti langkah, meninggalkan coretan cerita berikutnya sampai napas terakhir.

.

"Biar gimanapun, ini baru awalnya."

Rara menggumam terus sambil mengikat rambut sebahunya dengan ikat rambut scrunchie, jadi kalau dipakai tampak seperti diikat dengan bunga besar. Entah Rara mendapatkannya dari mana, sepertinya ini bagian pemberian Olivia kemarin. Setelah selesai, gadis itu mematut depan cermin lagi. Ia sudah berdandan dengan riasan tipis, ia mencoba mempraktikkan hasil memerhatikan Joy di apartemennya kemarin—iya, tanpa sadar ia berguru pada si gadis tinggi semampai itu. Waktu itu bahkan Joy yang menunjukkan barang apa saja yang harus dipakai.

"Kayak gini juga namanya jalan pelan-pelan buat berubah," gumam Rara lagi. "Apa lagi yang lo cemasin, Nararya?"

Tidak tahu, jawabnya dalam hati.

Mungkin ada kecemasan yang tak beralasan, atau belum menemukan jawaban tepatnya. Seperti sedang memegang pena dan menghadapi kertas kosong tanpa ide atau pengandaian yang sejenisnya. Sejatinya ini sudah gadis itu pikirkan jauh-jauh hari dan menjadi kecemasan baru yang harus ia hadapi lagi mulai sekarang.

Hidup adalah permasalahan yang berkelanjutan.

Sepertinya memang begitu adanya dan akan selalu seperti itu.

"Ayo, semangat, Nararya! Nararya keren, Nararya hebat, lo pasti bisa! Ayo berjuang lagi!"

Rara menggumam lagi seraya melangkahkan kakinya menuruni tangga. Derap langkahnya mungkin terdengar keras, lantaran ibunya yang sedang duduk di sofa tanpa ragu mendongak sekilas ke arah tangga sambil berkata, "Hati-hati, Nak."

Begitu sampai di anak tangga terakhir, Rara menyengir ke arah ibunya. Lalu berjalan pelan menghampiri beliau. "Ibu."

"Apa?" tanya ibunya tanpa menoleh ke arah Rara lantaran sedang sibuk sejenak dengan ponselnya.

"Mau peluk."

Ibunya menoleh ke arah Rara yang masih berdiri di hadapannya, lalu tanpa ragu merentangkan kedua tangannya. Siap menyambut anak bungsunya dengan berkata, "Sini."

Lalu, Rara berakhir menghamburkan diri memeluk ibunya erat sambil menggumam lagi, "Aku sayang Ibu."

"Tumben amat," balas ibunya sambil menoleh sebentar ke arah putrinya. "Kamu kenapa?"

"Bilang sayang doang nggak boleh?" sahut Rara dengan nada tak percaya.

"Aneh banget soalnya," ujar ibunya enteng. Kemudian ditepuk terus punggung anaknya pelan-pelan. "Iya, Ibu juga sayang kamu."

"Makasih ya, Bu, buat semuanya," ucap Rara lagi. "Aku sekarang udah lulus. Makasih banyak ya, Bu, udah berusaha sekolahin aku tinggi-tinggi sampai sekarang udah jadi sarjana. Tapi, aku belum bisa ngejanjiin apa-apa ke Ayah sama Ibu . Aku juga nggak tahu, apa nanti aku bakalan sama suksesnya kayak Mas Naresh. Semoga Ibu nggak keberatan buat nunggu lagi ya."

Serendipity: Undercover FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang