Terkadang apa yang kita khawatirkan akan terjadi sungguhan.
.
Nararya benci menjadi penakut.
Tapi ia selalu merasa ketakutan akan segala hal yang ia cemaskan.
Ada banyak hal yang Rara cemaskan sejak awal, mengenai perjalanan kehidupan yang akan ia hadapi, kesulitan apa yang akan ia alami, bahkan bagaimana masa depan yang sama sekali akan sulit dibayangkan. Pasti tidak akan mudah, itu yang selalu Rara rapalkan dalam diri. Padahal Rara baru saja mulai mencoba berpikir positif dan optimis, namun rasanya sulit sekali.
"Coba deh kamu tuh pahamin dulu metode baru ini, kamu kurang baca tahu nggak?"
Iya, ceramah bercampur omelan dari dosen pembimbing Rara begitu terngiang di telinga. Sukses membuat Rara merasa bahwa ia orang paling tolol sedunia. Entah Rara yang terlalu terbawa perasaan akan omelan dosennya atau Rara memang bodoh sungguhan. Ia merasa sudah membaca materi metodenya berulang-ulang, memastikan kecocokan metode dengan studi kasus yang sedang ia garap, namun sepertinya ini belum sejalan dengan pikiran beliau. Diskusi yang begitu alot, sampai rasanya pikiran Rara stress bukan main.
Terkadang hal ini jadi sedikit berimbas dengan sikap Rara yang memilih jadi pendiam.
Meski begitu, sepertinya Rara merasa kalau belakangan setiap ia bersama Wildan ada saja seseorang yang bertanya padanya tepat setelah selesai berurusan dengan Wildan.
"Mbak Rara ya?"
"Kamu Rara ya?"
"Win, dia Rara teman lo ya?"
"Lo Rara 'kan?"
Walaupun Rara menganggap itu semua hanya angin lalu, lama-lama ia risih juga. Ia sudah stress dengan segala persoalan hidupnya, kenapa harus ditambah dengan keadaan sekitar yang jadi menjengkelkan baginya?
Sampai suatu ketika Rara mulai paham dan mengerti maksud dari segala pertanyaan remeh orang-orang. Saat itu Rara sedang berdiskusi dengan Wildan mengenai perkembangan skripsinya, ada seorang perempuan berjalan menghampiri mereka. Rara tidak kenal perempuan itu, tapi tidak dengan Wildan.
"Bang Wildan!" panggil perempuan itu.
"Napa, Mi?" tanya Wildan tanpa basa-basi. Ami namanya.
"Ada titipan buat teman Abang, Kak Rara. Nih," ujar Ami sambil menyerahkan sekotak kardus berukuran sedang.
"Hah? Dari siapa?" tanya Rara yang merasa heran.
"Dari Bang Khalif, Kak. Katanya pesanan buat Kakak baru sempat dikasih."
Satu hal lagi yang sukses membuat Rara makin tidak habis pikir bersamaan dengan jawaban atas rasa penasarannya. Aneh rasanya melihat Khalif yang tiba-tiba seperti "menyuruh" semua kenalannya untuk mencari keberadaan Rara untuk melakukan hal yang masih termasuk sepele. Apalagi saat tahu ternyata isi titipan dari Khalif adalah sepotong kue cokelat keju berukuran besar, membuat Rara seketika menyimpulkan kalau ini adalah hasil masakan Umminya Khalif. Padahal waktu itu Rara hanya basa-basi, tapi Khalif sungguhan tidak menganggap itu omong kosong belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity: Undercover Fate
General Fiction[TAMAT - SUDAH TERBIT] Percaya kebetulan? Atau, lebih percaya semuanya sudah digariskan takdir? Tapi, kalau setiap pertemuan dan percakapan acak terjadi dalam sebuah kebetulan, bagaimana? Itu memang kebetulan atau takdir? "Tatapannya nusuk banget, k...