1 Year Before Rain

385 87 34
                                    

Jinwoo memikirkannya, ucapan kekasihnya siang lalu. Sebelum akhirnya mereka berselisih. Ah, atau hanya Jinwoo yang terlalu emosional.

"Kenapa kamu tidak mencoba bicara dengan ibumu?"

Itu yang Dongpyo ucapkan setelah Jinwoo menjawab pertanyaannya. Awalnya—tiba-tiba saja Dongpyo menanyakan keadaan hubungannya dengan keluarganya. Jinwoo langsung merasa down, ia tidak suka ada yang mengungkit masalah hubungannya dengan keluarganya. Karena entah mengapa rasanya menyesakkan, terlebih kali ini Dongpyo yang menanyakannya.

"Jangan bahas itu," ia berucap dengan datar.

"Setidaknya kamu harus mendengarkan mereka 'kan?"

Dongpyo hendak melanjutkan lagi, "Mereka masih orang—"

"DONGPYO!"

Jinwoo menatap Dongpyo yang tersentak. Hatinya sakit dan menginginkan Dongpyo berhenti membiarkan keluarganya. Terlebih ketika ucapan Dongpyo seolah membela orang tuanya.

"Kamu nggak tahu apa-apa," desisnya.

Setelahnya Jinwoo berjalan meninggalkan Dongpyo seorang diri di rooftop sekolah. Sisa hari itu, tak satupun dari mereka yang bicara. Jinwoo bungkam begitu juga dengan Dongpyo. Seolah ada jarak yang begitu jauh memisahkan mereka, meski nyatanya jarak keduanya kurang dari sepuluh meter.

Namun penyesalan mulai menyergap benak Jinwoo ketika pulang sekolah Dongpyo memilih menghindarinya. Pemuda itu keluar kelas lebih cepat dari biasanya, tidak sempat Jinwoo cegah. Hari itu untuk sekian lama keduanya bertengkar.

Penyesalan itu masih terbawa hingga kini. Jinwoo yang tengah berbaring di kamarnya mulai terbayang wajah Dongpyo ketika ia membentaknya tadi. Pemuda itu merutuki dirinya sendiri, bisa-bisa ia melakukan hal bodoh seperti itu.

Jinwoo terlampau sakit kala kekasihnya mengungkit keluarganya, hingga dirinya tanpa sadar membentak orang terkasihnya. Karena memang tak dapat disangkal, Jinwoo masih tidak mampu memaafkan orang tuanya.

Hari itu, hari di mana dirinya harus menghadiri acara keluarga besarnya. Alasan mengapa dirinya tak dapat menjemput sang kekasih adalah sang ibu yang menahannya. Karenanya ia harus meminta sepupunya—Felix—untuk menjemput Dongpyo.

Jinwoo akhirnya duduk berhadapan dengan sang ibu. Pemuda itu enggan menatap wanita di hadapannya, andai saja ia tahu penyesalan begitu besar tampak pada manik sang ibu. Tapi Jinwoo dibutakan rasa egoisnya, hormon masa remaja yang terus menekankan bahwa dirinya yang paling terluka.

Meski memang Jinwoo terluka, rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan wanita di hadapannya. Bagaimana sakitnya ketika menyadari fakta bahwa dirinya telah melukai putranya sendiri. Bagaimana sakitnya ketika sang putra bahkan enggan bertatap wajah dengannya. Bagaimana sakitnya ketika dirinya telah gagal sebagai seorang ibu.

Itu menyakitkan, namun Jinwoo tak mau tahu menahu tentang itu. Karena sekali lagi, ia hanya berpikir tentang perasaannya sendiri. Terlebih sakitnya ketika mendengar apa yang terlontar dari wanita yang telah melahirkannya.

"Papa dan mama memutuskan untuk berpisah."

Jinwoo benci, benar-benar benci hingga ia tak mampu menyalurkan amarah dalam dirinya. Sekali lagi orang dewasa selalu mengambil keputusan tanpa menanyakan pendapat pihak lain. Jinwoo mengasihani dirinya sendiri.

Menurut Jinwoo, mengapa mereka dulunya memutuskan untuk bersama jika akhirnya mereka berpisah juga?

"Ya, lakukan sesuka kalian. Sejak awal memang tak satupun dari kalian yang peduli."

Itu yang Jinwoo ucapkan sebelum akhirnya bergegas meninggalkan sang ibu. Mengabaikan teriakan sang ibu yang memanggil namanya. Menahan rasa sesak yang memenuhi dadanya.

Don't know you ✓ | ljw • sdpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang