Dongpyo tidak pernah menyangka patah hati ternyata berefek begitu besar padanya.
Selepas dirinya yang melihat Jinwoo berpelukan, Dongpyo langsung berbalik arah. Ia menjauh, sejauh mungkin hingga bayangan kedua tak terlihat lagi baik dari pengelihatannya maupun dari benaknya.
Dongpyo tidak menduga patah hati akan semenyakitkan ini. Bagaimana dadanya terasa sesak ketika bayangan kedua orang yang sedang berpelukan kembali melintas. Bagaimana matanya terasa panas kala Jinwoo duduk di bangku sebelahnya. Bagaimana perihnya saat mengingat apa yang pernah Jinwoo ucapkan padanya hanyalah kebohongan.
"...anggap saja itu bercanda..."
Iya, harusnya Dongpyo menganggapnya sebuah candaan.
Harusnya Dongpyo tidak termakan seluruh perlakuan manis Jinwoo padanya.
Harusnya Dongpyo tidak perlu mengenal Jinwoo.
Harusnya Dongpyo bisa melenyapkan perasaannya semudah perasaan itu dimilikinya.
Harusnya Dongpyo sadar jika orang sesempurna Jinwoo tidak mungkin ditakdirkan untuknya.
Harusnya mereka tidak pernah dipertemukan.
Segala pemikiran mulai muncul di benaknya. Karenanya Dongpyo jadi makin merasa sakit. Pemuda itu menyadari kebodohannya namun tidak bisa menghentikan sekarang.
Nasi telah menjadi bubur, itu yang orang awan katakan.
Kini Dongpyo berdiam diri di apartemennya, duduk memeluk lutut di lantai balkon kamarnya—satu-satunya balkon yang ada di apartemennya. Kegiatan yang dilakukannya sedari pulang sekolah tadi. Pandangannya sibuk memperhatikan langit yang perlahan mulai menggelap. Tidak peduli dengan udara dingin yang mulai terasa, Dongpyo hanya merasa dirinya begitu kecil jika dibandingkan dengan luasnya angkasa.
Dongpyo merasa keadaannya begitu menyedihkan.
"Dongpyo, ayo makan nak!"
Itu suara ibunya.
Dongpyo tidak mau membuat beliau khawatir hingga merepotkannya lagi. Ia harus bisa bersikap baik-baik saja meski nyata tidak begitu. Karenanya, pemuda itu beranjak meninggalkan balkon dan menemui ibunya di meja makan. Sebenarnya, Dongpyo bahkan tidak yakin dapat mengelabuhi wanita yang telah melahirkannya itu.
Di meja makan, tampak ibunya yang tengah menyiapkan makan di piring. Ibunya menyambut kedatangannya dengan senyum hangat. Dongpyo ikut tersenyum meski hatinya terasa sakit karena ia merasa telah mengecewakan sang ibu.
Kini keduanya duduk bersebelahan di sofa sambil menyaksikan tayangan televisi. Itu yang mereka lakukan setiap makan bersama, karenanya meja makan amat jarang mereka pakai.
Sebagai seorang ibu, tentunya beliau merasa ada yang salah dengan putranya. Sedari tadi putranya itu tampak tidak fokus dan sering melamun, bahkan makanannya pun terabaikan. Dirinya bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang terjadi pada putranya?
"Dongpyo, kamu baik?"
Dari netranya, beliau menyaksikan sang putra yang tersentak saat ia panggil. Dirinya tidak bisa untuk tidak khawatir. Karena dirinya pun menyadari sang putra kelewat serius, mengabaikan kebahagiaannya sendiri. Mengatasnamakan keinginan sang putra membuat dirinya bangga, wanita paruh baya itu jadi makin merasa bersalah.
"Aku tidak tahu."
Mendengar jawaban yang dilontarkan sang putra, wanita itu tersenyum. Jemari lentiknya mengelus surai gelap sang putra. Kadang ia merasa jika putranya itu terlampau menggemaskan bahkan jika dibandingkan gadis-gadis di luar sana.
"Hei, ceritakan yang kamu rasakan pada ibumu ini."
Dongpyo tertegun kala melihat netra sang ibu yang penuh kasih sayang, ia jelas tidak dapat menolak sang ibu.
"Ibu, aku menyukai seseorang."
"Bukankah itu bagus? Siapa gadis beruntung itu?"
Dongpyo ingin menangis, apa yang akan ibunya lakukan saat mengetahui kebenarannya? Dongpyo takut, namun ia tidak bisa menyembunyikan hal sepenting ini dari ibunya.
"Tapi ibu," suara Dongpyo bergetar menahan tangis, "aku tidak menyukai seorang perempuan."
Wanita paruh baya itu tersenyum getir, beliau jelas tahu apa yang putranya maksud. Ia tahu ini salah, namun putranya pun berhak mendapatkan kebahagiaannya sendiri setelah apa yang dialaminya selama ini.
Dongpyo tidak mampu menahan tangisnya ketika tak ada respon dari sang ibu.
"Maaf, aku membuat ibu kecewa."
Sebagai seorang ibu, beliau jelas merasa sakit melihat sang putra menangis. Beliau menggeleng, ini bukan salah putranya. Tidak ada yang salah dari cinta.
"Ini bukan salahmu sayang," ucapnya, "tidak ada yang salah dari mencintai seseorang."
Meski begitu Dongpyo tetap tak mampu menghentikan air matanya. Mengalir begitu deras setelah semua rasa sakit yang ia pendam.
Pemuda itu bersyukur ada sang ibu di sisinya.
( • )
Chapter kemarin banyak yang ngegas :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't know you ✓ | ljw • sdp
FanfictionDi depan minimarket sore itu, Dongpyo menemukan sosok rapuh seorang Lee Jinwoo. Bxb! Shonen-ai! Lee Jinwoo • Son Dongpyo 2019 © Neko