2 Years Before Rain

390 90 99
                                    

Dongpyo termenung menatap titik air hujan yang mengenai kaca jendela apartemennya.

Masih terbayang di benaknya kejadian kemarin lusa. Di mana untuk pertama kalinya Jinwoo membentaknya. Terlalu menyakitkan hingga sekarang pun rasa sakitnya masih terasa. Lebih dari bentakan itu, lebih menyakitkan lagi bagi Dongpyo karena apa yang Jinwoo ucapkan setelahnya.

"... kamu nggak tahu apa-apa ..."

Serangkaian kata itu cukup menyadarkan Dongpyo pada kenyataan. Kenyataan bahwa selama ini ia tak tahu menahu seorang Lee Jinwoo sebaik itu. Kenyataannya Dongpyo hanya mengetahui apa yang orang awan tahu tentang Jinwoo. Status keduanya tak merubah apapun, mungkin hanya Dongpyo yang merasa jika dirinya mengerti Jinwoo.

Terlalu sakit ketika mengetahui ia sama sekali tidak bisa mengerti Jinwoo.

Tidak, Dongpyo tidak marah ataupun kecewa pada Jinwoo. Sebaliknya ia justru merasa marah pada dirinya sendiri, ia merasa kecewa pada dirinya yang hanya mampu memperburuk keadaan. Mungkin sekarang dirinya telah melukai perasaan Jinwoo.

Sejak kejadian di rooftop hingga kini, Jinwoo sama sekali tidak menghubunginya.

Semarah itukah Jinwoo padanya? Lalu Dongpyo merasa takut, takut Jinwoo akan meninggalkannya. Pernah terluka karena ditinggalkan membuatnya tak mau merasakan lagi.

Dongpyo mulai meragukan keputusan, apakah keputusannya untuk membantu sepasang ibu dan anak itu adalah sebuah kesalahan? Bagaimana jika dirinya justru membuat hubungan ibu dan anak itu makin merenggang? Memikirkannya justru membuatnya merasa makin terbebani. Terlebih ibu Jinwoo tidak menghubunginya sejak kemarin lusa.

Langit sama suramnya dengan suasana hatinya. Tetes hujan yang membentur kaca jendelanya menggambarkan betapa kacaunya dia. Gemuruh yang terdengar menemani Dongpyo yang masih melamun.

Lamunan Dongpyo buyar kala ponselnya berdering, menampilkan notifikasi bahwa seseorang menghubunginya. Itu dari ibunya Jinwoo. Dongpyo pikir, ia harus mengatakan apa yang terjadi pada ibunya Jinwoo dan meminta maaf. Dongpyo rasa dirinya tak mampu membantu wanita paruh baya itu.

"Halo sayang?"

Itu suara ibunya Jinwoo dari seberang telepon.

"Halo ma," Dongpyo membalas dan segera melanjutkan, "mama, Pyo minta maaf tapi kayaknya Pyo nggak bisa bantuin mama lagi?"

"Loh, kenapa sayang?"

Dongpyo menghela napas, "Jinwoo marah sama Pyo, ma."

Ibunya Jinwoo membalas dengan nada heran, "Dia marah sama kamu? Kok dia nggak bilang ke mama?"

Eh? Jadi maksudnya ibu dan anak itu sudah saling bicara?

"Ini lho sayang, jadi kemarin itu—"

Dongpyo tersentak kala bel berbunyi, mengharuskannya untuk mengakhiri pembicaraannya dengan ibunya Jinwoo.

"Eh, maaf ma. Ada tamu, Pyo tutup ya?"

Sehabis menutup panggilan, Dongpyo segera bergegas keluar kamar. Karena sepertinya tamu ini tidak bisa menunggu sebentar saja, buktinya dia terus menerus menekan bel.

"Iya, siapa ya—eh?"

Dongpyo yang baru saja membuka pintu dikejutkan dengan sosok yang tiba-tiba mendekapnya dengan erat.

"Aku merindukanmu," bisiknya.

Itu Lee Jinwoo, tengah mendekapnya dengan begitu erat. Dongpyo dapat merasakan lembab pada pakaian yang pemuda itu kenakan.

Dongpyo masih tidak mengerti apa yang terjadi. Baru beberapa saat lalu dirinya berpikir Jinwoo marah padanya dan kini pemuda itu justru tengah mendekapnya. Terlebih dengan keadaan pemuda itu yang basah karena hujan.

Beberapa saat setelahnya, baru Dongpyo ketahui kalau Jinwoo dan ibunya telah memulai lembaran baru. Hubungan keduanya membaik, mereka sama-sama saling mengerti pada akhirnya. Dongpyo hanya bisa mengucap syukur untuk pasangan ibu dan anak itu.

Kini Dongpyo dan Jinwoo tengah berada di kamar Dongpyo. Setelah Dongpyo meminta kekasihnya itu mengganti pakaian dan mengeringkan rambutnya, Jinwoo benar-benar tidak mau terlepas dari Dongpyo. Pemuda itu terus melingkarkan lengannya pada pinggang Dongpyo dan terus membisikkan kata maaf. Terlebih saat melihat Dongpyo menangis karenanya.

Iya, Dongpyo menangis. Saat di pintu apartemen tadi, Dongpyo tidak mampu menahan air matanya ketika menyadari siapa yang memeluknya. Setelah pertengkaran keduanya, rasanya seperti mimpi jika dirinya berada dalam dekapan sang kekasih.

"Dongpyo," panggil Jinwoo.

Dongpyo yang tengah menyiapkan coklat panas untuk keduanya hanya berdeham, "Hm?"

"Jangan pergi ya?"

Dongpyo terkekeh kecil mendengar ucapan kekasihnya dan balik bertanya, "Bukankah harusnya aku yang mengatakan itu padamu?"

"Aku tidak akan meninggalkanmu."

Itu yang Jinwoo ucapkan. Pemuda itu mengeratkan pelukannya, "Kalau aku pergi sekalipun, aku pasti kembali padamu."

"Karena hanya kamu tempatku kembali," lanjutnya.

Dongpyo hanya diam, ia tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya kini. Haruskah dirinya senang atau justru khawatir? Karena entah mengapa ia khawatir Jinwoo akan pergi.

"Aku mencintaimu."

( • )

Bukan, ini bukan konflik.

Mau ngasih tau aja, ff ini bentar lagi bakal end :'
Mungkin sekitar 10 chapter atau kurang dari itu
Ada tambah bonchap juga kalau aku khilap, semoga si engga hwhw

Don't know you ✓ | ljw • sdpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang