Pintu kost terbuka. Eno kembali dengan dua bungkus nasi goreng dan air mineral dalam botol besar yang ia jinjing di sebuah plastik."Ayo, makan!" ajakanya padaku.
Aku hanya menggeleng. Tidak, aku tak ingin makan apapun. Aku ingin diam. Ingin menangis saja.
"Ayaaa..." Eno duduk di dekatku. Mengusap lututku lembut.
"Kamu belum makan malam. Udah... jangan di pikirin terus. Siapa tau kamu cuma salah faham aja, kan?" bujuknya padaku.
"Salah faham? Kamu sendiri yang bilang, kalo anak itu sangat mirip sama aku, kan?" tanyaku.
Eno menundukkan pandangannya. Sepertinya ia menyesal dengan perkataan yang terlanjur ia katakan di halte tadi.
"Tentu saja dia mirip sama aku, karna kami punya Ayah yang sama," lanjutku sambil menghapus air mata yang kembali berlinang.
"Sssttt..." Eno menarikku dalam pelukannya. Menyadari kalau aku kembali menangis.
"Udah... jangan nagis terus. Mata kamu udah bengkak itu." Dia berusaha menenangkan aku lagi.
"Kok Papa tega sih, sama aku dan Mama?" Aku masih terisak.
Eno terdiam. Mungkin dia bingung harus berkata apa.
"Ini pasti karna Mamaku enggak bisa jadi istri yang baik. Mama lebih suka keluyuran sama hura-hura! Gini kan, akibatnya?" Aku masih tak bisa berhenti menangis.
"Ssttt... udah Sayang... udah doong!!" Eno mengusap-usap pundakku sangat lembut.
"Mata kamu udah bengkak itu. Nanti kamu bisa sakit lho, kalo banyak pikiran gini? Udah ya? He-mm?" Eno menghapus air mataku.
Aku menarik diri dari pelukannya. Lalu berusaha menenangkan diriku.
"Makan dulu, ya?" bujuk Eno lagi.
"Aku enggak lapar!" hentakku.
Eno menatapku dalam-dalam.
"Ya, udah... sekarang kamu maunya, aku gimana? Aku anterin pulang ya?" kata Eno begitu halusnya.
"Enggak! Aku enggak mau pulang!" tolakku sambil menarik diri menjauh dari Eno.
"Lho? Kalo kamu enggak pulang, kamu mau kemana? Mau nginep di sini? Enggak enak, Ayy! Nanti apa kata Mama kamu?"
"Mama aku enggak ada di rumah. Dia minggat ke singapura buat tiga hari. Enggak ada yang peduli sama aku. Kalo kamu juga enggak peduli, aku bakalan pergi ke jembatan layang, buat lompat bunuh diri!"
"Heyyy...!" Eno langsung mendekat. Lalu mengusap pipiku lembut.
"Kok ngomongnya gitu?" sambungnya jadi khawatir.
Aku diam saja. Aku kalut, aku marah, aku muak, Aku ingin mati!
Ah, tidak! Aku ralat. Aku belum ingin mati. Itu berlebihan. Maafkan Aya, ya Allah...
Aku mendelik gusar padanya. "Kenapa kamu nyuruh aku pulang? Kamu enggak mau, liat aku di sini? Kamu udah bosen sama aku? Kamu mau campakin aku juga sama kayak Papa campakin Mama?" cecarku jadi tak karuan.
"Enggak..." Eno meraih kedua sisi wajahku dengan kedua tangannya.
"Maksud aku enggak gitu, Sayang. Enggak mungkin-lah aku kayak gitu," bantahnya.
Aku masih terisak pelan. Tak mau menanggapi Eno lagi.
"Aku cuma enggak mau liat kamu nangis terus," sambungnya.
"Ya udahlah... terserah kamu! Kalau mau nginep juga enggak apa-apa. Tapi udahan ya, nangisnya? Aku ikut sedih lho, liat kamu kayak gini." Eno terus berusaha membujukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Teen FictionTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...