Beberapa hari berlalu, sejak pertemuan terakhirku dengan Eno di bawah gerimis sore itu. Eno tak pernah datang lagi ke sekolahku. Tak pernah menelpon atau mengirim pesan. Hubungan kami berakhir hingga disini. Sepertinya begitu.Aku tak bisa bertahan, jika Eno tak bisa berhenti dengan kebiasaan membiarkan sembarang gadis menempel mesra padanya. Ya, meski aku sangat mencintai dia, aku tidak kuat jika harus menyaksikan pemandangan menjijikan seperti itu lagi.
Sore ini, aku berdiri di depan gerbang sekolah. Menatap kios bakso di mana biasanya Eno sudah setia menungguku.
Oohh... perih sekali perasaanku sekarang. Aku sangat merindukan Eno. Merindukan kehadirannya di depan sana. Padahal baru beberapa hari saja kami putus.
Tapi, aku bisa apa? Eno yang memilih ini. Eno yang tak mau mengerti dan dengan egoisnya memintaku untuk bersabar. Padahal, kurang sabar apa aku selama ini?
Astagaaa... sesakit ini rasanya kehilangan dia. Kehilangan seorang berandal dengan semua perangai buruk yang dia miliki. Bahkan setelah tau semua kebiasaan buruknya itu, perasaan cintaku padanya tetap tak tergoyahkan.
Mataku selalu berkaca tiap kali menatap kios bakso di sebrang jalan itu. Membayangkan sosok Eno dengan motor kesayangannya menunggu untuk menjemputku.
Mau kemana kita hari ini?
Suara Eno selalu terngiang menggodaku tiap kali aku keluar gerbang. Sialan! Air mataku langsung meluncur jika pikiranku sudah mendengar kalimat keramat kekasihku itu. Oh, maksudku... mantan kekasihku.
Tidaaakkk... aku tak rela memberikan predikat mantan pada Eno. Aku tarik lagi kata-kataku barusan.
💔
Dua minggu kini sudah berlalu. Malam-malam yang kulalui masih tetap sama. Merindui dan menangisi si brengsek Moreno Darmawan Ali yang sudah membuatku patah hati untuk yang kedua kalinya.
Aku tidak kuaaaattt... aku sudah benar-benar tersiksa. Kupikir seiring berjalannya waktu, aku akan bisa meredakan perasaan cintaku yang sudah menyentuh level gila. Nyatanya aku sama sekali tak bisa melupakan dia.
Sore ini, saat jam pulang sekolah tiba, aku dibuat terkejut melihat kedatangan Awank dan seorang kawan Eno lainnya yang aku tidak tau namanya. Mereka menungguku di luar gerbang dengan tampang srius. Aku jadi merasa khawatir, jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi menimpa Eno.
"Sore, Ayy!" sapa Awank begitu melihatku keluar gerbang.
Aku menatap mereka penuh pertanyaan.
"Ada apa?" tanyaku sudah merasa was-was saja. Kuharap mereka tidak membawa kabar buruk tentang Eno.
"Enggak ada apa-apa. Kita berdua cuma mau ngobrol bentar sama lo. Lo ada waktu?" tanya Awank.
Aku terdiam sejenak. Lalu mengiyakan.
Kami memutuskan masuk ke warung bakso, memesan minuman ringan dan melanjutkan obrolan.
"Sebelumnya gue mau ngenalin diri, gue Eza. Kita pernah sekali ketemu, tapi gue enggak sempat kenalan sama lo," ujar teman Awank.
Aku hanya tersenyum samar menanggapinya.
"Jadi... kedatangan kita kesini, mau jelasin sesuatu sama lo. Dan gue harap, lo kasih kesempatan kita buat lurusin duduk persoalan yang terjadi. Karna ada hubungannya sama lo dan Eno," lanjut Awank.
Aku menyimak dengan seksama.
"Mmm... gini, Ayy. Sebenarnya, malam itu, gue yang meminta Eno buat balapan. Kondisi gue terjepit. Dan hanya Eno yang bisa bantuin gue. Awalnya Eno udah nolak, karna dia belum pernah balapan di arena itu. Malam itu juga pertama kalinya Eno balapan bawa joki cewek. Itu semua dia lakuin, karna dia mau bantuin gue." Eza memulai penjelasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Teen FictionTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...