Hujan turun cukup deras, sejak jam pelajaran terakhir tadi. Belum juga menunjukkan tanda akan reda. Aku keluar kelas dengan bimbang. Mengabaikan beberapa tawaran teman cowok sekelasku yang mengajak pulang bersama. Sungguh, cuaca yang dingin ini membuat perasaanku terasa semakin semrawut saja.
Tiba di depan tangga utama lantai dasar, dari arah parkiran, kulihat Pak Jamal, melangkah tergesa ke arah gedung sekolah. Lelaki itu memakai payung, membawa payung lainnya juga dalam genggaman.
Mama menepati janjinya mengirim sopir untuk menjemputku. Mungkin dia tak tega jika anak perempuannya ini harus kehujanan sepulang sekolah.
"Sore, Non... ini payungnya." Pak Jamal menyodorkan payung yang belum terbuka padaku. Aku langsung menerimanya.
"Hati-hati, Non. Licin." Dia mengingatkanku. Aku melangkah di belakangnya, mengikutinya menuju mobil di parkiran sekolah.
Pak Jamal membukakan pintu mobil untukku. Lalu merapikan kedua payung kami. Tak lama kemudian, mobil kami mulai ikut mengantri untuk keluar dari gerbang.
Jika hujan begini, memang lebih banyak mobil pribadi yang menjemput siswa sekolahku. Karna sama sepertiku, kami enggan untuk menggunakan transportasi lain dalam cuaca seperti ini. Meskipun alasan utamaku meminta Mama mengirim pak Jamal bukan semata-mata karna turun hujan. Tapi karna aku ingin menghindari Eno.
Mobil melaju tersendat-sendat, dari jauh aku sudah melihat Eno berdiri di emperan warung bakso, dia pasti tengah menungguku.
Aku sedang mengabaikannya. Membisukkan notifikasi pesan dan panggilan telpon darinya. Aku masih marah. Aku masih ingin mendiamkan Eno. Tapi lelaki itu sudah sangat mengenali pak Jamal juga mobil yang aku kendarai. Karna Eno sudah sering datang kerumahku dan melihat pak Jamal juga mobil yang biasa dibawa sopir pribadi keluargaku itu.
Melihat mobilku keluar gerbang perlahan, Eno segera menghampiri. Menembus hujan deras tanpa peduli tubuhnya kebasahan.
"Aya! Kita harus bicara, Ayy!" Dia menggebrak jendela mobil di sisi tempatku duduk.
Aku membeku. Bersikap seolah tak ada yang terjadi. Seolah tidak melihat kehadirannya.
"Aya! Aku mohon!" Eno terus menggebrak kaca jendela mobil. Melangkah mengikuti laju mobilku yang tersendat.
"Non, mau berhenti dulu?" tanya pak Jamal. Mungkin dia merasa tak tega melihat Eno mengikuti kami seperti itu. Aku juga sebenarnya tidak tega, hiks... tapi aku sedang tak ingin berdebat dengan Eno. Aku tak mau bertengkar lagi.
"Jalan terus, Pak!" pintaku.
"Ayaaa... buka pintunya! Kita harus bicara! Kamu enggak bisa bersikap begini, Ayy!" Eno masih belum menyerah.
Aku pusatkan mataku kedepan. Tak ingin menoleh barang sedikitpun padanya. Karna aku tak kan sanggup melihat wajah memelasnya yang terguyur hujan itu. Pasti sangat memilukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Teen FictionTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...