63. JALAN HIDUP

8.7K 699 256
                                    

Hari minggu ini aku ikut Mama ke Kafe barunya. Dua hari lagi, Kafe baru itu akan segera dibuka untuk pertama kali. Ada peresmian dan acara syukuran sederhana yang akan digelar. Mama mengundang teman-teman dekatnya. Dia juga memintaku mengundang Eno. Aku senang sekali dengan permintaan Mama itu.

Ya. Sejak kebenaran tentang Papa yang sudah kuketahui, hubunganku dengan Mama berubah lebih hangat. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Mama juga sekarang lebih sibuk dengan bisnis kafenya daripada keluyuran dengan geng sosialitanya. Itu bagus menurutku. Setidaknya, Mama mengalihkan rasa kesepiannya dengan cara yang lebih produktif.

Kafe baru Mama berlokasi cukup strategis. Letaknya bersebelahan dengan beberapa tempat usaha lain. Ada tempat karaoke, kantor perusahaan ekspedisi, dan sebuah kantor cabang Bank yang cukup punya nama. Tak jauh dari komplex ini, juga ada sebuah kampus swasta dan rumah sakit. Cukup menjanjikan.

Aku menatap kesibukan Mama dan beberapa pegawainya dari tempatku duduk sekarang. Menunggu pesanku terkirim pada Eno, tapi tak juga mendapat respon.

Aku menelponnya, nomornya juga tidak aktif. Ahh ... kemana Eno sebenarnya? Tidak biasanya dia seperti ini. Semalam dia juga tidak mengajakku kemana-mana. Kontak terakhir dengan Eno kulakukan kemarin sore, dia mengatakan kalau sedang merasa kurang sehat.

Apa dia benar-benar sedang sakit? Aku jadi khawatir. Baiklah, sebaiknya aku datang saja ke tempat kostnya nanti siang, pikirku.

Menumpang Taksi, aku tiba di kost Eno siang ini. Tapi ternyata, pintunya terkunci dari luar.

Oh, ya ampun! Kemana dia sebenarnya? Sudah berkali-kali aku mencoba menghubungi nomornya tapi tetap tidak aktif. Aku jadi makin gelisah saja. Aku segera menelpon Awank.

"Ya, Ayy ... ada apa?"

"Wank, lo tau enggak Eno kemana? Hapenya enggak aktif, kamar kostnya dikunci. Dia kemana ya?" tanyaku.

"Masa' sih?"

"Hadeuh! Ngapain gue bo'ong sih?" Aku menghentak jengkel.

"Kemana ya? Pulang kali dia!"

"Pulang kemana?"

"Ya ke rumah Bapaknya!"

Oh, iya. Benar juga. Eno bilang dia sedang kurang sehat kan? Mungkin Awank benar. Eno pulang ke rumah Pak Ali. Bapaknya.

"Ayy ...?" Awank memanggilku.

"Eh, iya. Mungkin Eno pulang kali, ya. Kemarin dia emang bilang kalo dia lagi ga enak badan."

"Mau gue anter ke rumah Bokapnya?" Awank menawarkan jasa.

"Ah ... enggak, enggak. Ga enak gue! Biarin ajalah ... mungkin dia mau istirahat. Nanti gue coba hubungi dia lagi," tolakku segera.

"Lo di mana sekarang?"

"Masih di kost Eno."

"Sendiri?"

"Enggak, rame-rame gue. Bawa orang satu RT," ketusku. Kudengar Awank tertawa di sebrang sana.

"Gue bisa ke sana buat nganter lo pulang, kalo mau."

"Ga usah. Gue naik taksi aja."

"Ya udah kalo gitu, tihati ya?"

"Ok." Aku segera memutus kontak.

****

Sudah tiga hari ini Eno tak ada kabar. Awank juga memberitahuku kalau Eno belum masuk sekolah. Aku semakin khawatir, jangan-jangan Eno sakit parah.

BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang