40. ENO-KU

9.9K 695 97
                                    

Aku dan Eno melangkah berdampingan. Perlahan menyusuri trotoar. Isam pergi lebih dulu dengan sepeda motor. Aku dan Eno memutuskan berjalan kaki menuju bengkel sekarang.

Aku diam. Eno diam. Kami berdua diam. Menatapi langkah kaki masing-masing. Tak terusik dengan lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan raya malam ini. Malam yang meremukkan hatiku, perasaanku. Mungkin hati dan perasaan Eno juga.

"No..." Aku membuka suara.

"Ya?" Eno menoleh padaku.

"Maafin aku."

"Untuk apa?"

"Untuk yang barusan terjadi."

Eno tersenyum. "Itu bukan salah kamu, Ayy!"

"Tapi Glen melakukannya karna dia kesal sama aku."

"Dia cuma enggak terima udah kehilangan kamu. Aku justru kasian sama dia."

"Kenapa kamu diam aja? Harusnya kamu hajar si Glen, tadi. Aku nunggu kamu lakuin itu. Tapi kamu malah pasrah dihina kayak gitu. Glen udah nginjak-nginjak harga diri kamu, tau enggak?" ujarku jadi gusar.

Eno masih tersenyum santai. "Aku enggak mau bikin malu kamu. Apa kata teman-teman kamu nanti, kalo liat aku main hajar orang seenaknya? Udah tampang aku lecek, kere, eh... tukang pukul juga! Kan enggak lucu," tanggapnya.

Aku menghentikan langkahku. Menatapnya tak habis pikir. "Kenapa kamu masih mikirin aku di saat kayak gitu? Tempo hari kamu bisa hajar Heri sampe babak belur! Kenapa kamu enggak hajar Glen juga?"

Eno memegang kedua tanganku. Menatapku dengan sangat teduh.

"Waktu itu, Heri menghina kamu. Aku enggak bisa nahan diri buat hajar dia. Kalo masalah tadi, aku enggak ambil hati. Aku udah biasa dihina kayak gitu. Jadi enggak masalah. Aku bisa tahan ada orang yang hina aku, tapi aku enggak akan tahan kalo ada orang yang hina kamu," tuturnya.

"Tapi aku yang enggak tahan," sahutku dengan air mata mulai menetes. Aku sungguh terharu mendengar kalimat Eno barusan. Oh, ya Tuhan... aku benar-benar makin cinta sama berandalan ini.

"Aku enggak rela liat kamu diecehkan kek gitu... kenapa kamu diam aja?" hentakku sambil menahan tangis, aku jadi kesal sendiri.

Eno tersenyum. Lalu menarikku dalam pelukannya.

"Udah... jangan pakek nangis! Cengeng banget si, kamu?" ujarnya sambil memelukku.

Ya, aku tau aku memang cengeng. Aku benar-benar menangis sekarang. Tangisan yang sudah kutahan sejak tadi.

"Udah-lah, Aayy... nanti aku ikut nangis ini..." Eno berusaha menghiburku.

Aku menghapus air mata. Lalu menarik diri dari pelukan Eno.

"Aku beneran ngarep kamu hajar Glen tadi. Dia udah keterlaluan! Harusnya kamu biarin Isam nonjok dia!" hentakku.

Eno terkekeh. "Aku masih mikirin nasib aku sama Isam. Gimana kata Guru aku, kalo mereka terima laporan, aku sama Isam hajar pelanggannya? Bisa ditambah, masa kerja aku," kata Eno memberi alasan.

Meski aku bisa merasakan, kalo itu benar-benar sebuah alasan saja.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang