"Kamu kalo lagi cemburu gitu gemesin banget, tau enggak? Coba sini, aku cium dulu!" Eno menarik lenganku, tapi aku cepat menepisnya.
"Enggak! Minta cium Citra aja sana! Dia udah lama naksir kamu, kan?" Aku membuang muka.
"Lhooo ... kok jadi srius gitu sih?" Eno berusaha membujukku. Aku tak menggubrisnya.
"Jangan marah dong, aku udah tiga hari ini sekarat lahir batin gegara kangen kamu. Masa' kamu malah ngambek gini?" rayunya lagi.
Perlahan aku menatapnya. Melihat dia melemparkan senyum yang begitu menawan. Seakan sudah tau benar, kalau dengan cara itu dia selalu berhasil meluluhlantakkan pertahananku.
Aku jadi tak kuasa untuk tidak membalas senyuman beracunnya. Ahhh ... betapa lemahnya imanku ini. Tanpa kusadari, senyumku sudah merekah saja sambil menatap wajah Eno yang masih berada di pangkuanku.
"Senyum kamu itu udah kayak tawuran pecah ...," gumam Eno menatapku.
"Apa?" Aku tak mengerti.
"Iya, sama-sama bahaya! Kalo tawuran bikin aku pengen bantai musuh. Kalau senyum ini, bikin aku pengen bantai bibir kamu." Eno mengelus bibirku dengan ibu jarinya.
"Diihh ...!" Aku menyeringai. Gombalan yang agak mengerikan menurutku.
Eno terkekeh saja.
"Enak aja nyamain senyum aku sama tawuran! Dasar Bandit!" rutukku.
Eno masih tertawa. Lalu tawanya mereda, tangannya meraih pipiku dan mengelusnya begitu lembut. Dia menatapku sangat dalam, dengan sungguh-sungguh. Tak kulihat lagi candaan atau kelakar di sorot matanya.
"Aku beneran kangen kamu, Sayang." Eno sungguh srius kali ini.
Ya, aku faham. Sama seperti Eno, aku juga merasakan hal yang sama. Tiga hari tak berinteraksi dengan dia, membuatku sangat merindukannya.
Dia menatapku lamat-lamat. "Tumben kamu pakek rok ginian segala?" Dia menarik rokku sekilas.
"Biar keliatan sopan depan calon mertua. Ya kali, mau bertamu ke rumah kamu aku pakek hot pants. Bisa disangka cabe-cabean aku n'tar," jawabku.
Eno langsung tertawa. Entah bagian mana yang menurutnya lucu, tapi tawanya hingga berderai-derai.
"Apanya yang lucu sih? Katanya kamu ga mau liat aku pamer badan, kan?" Aku jadi merasa risih. Apa di matanya aku terlihat aneh dengan penampilanku sekarang?
Tawa Eno mereda, dia masih tersenyum-senyum menatapku.
"Enggak. Aku cuma pangling liat kamu berpenampilan kayak gini. Kamu beneran cantik Ayy.""Aku tau kok. Aku kan emang udah cantik sejak masih janin." Aku tak mau terpancing gombalan Eno.
Eno tertawa. "Tapi beneran. Aku suka liatnya. Ngerasa tenang aja. Karna ga perlu khawatir paha kamu diliatin cowok lain."
"Iya ... aku tau. Kamu enggak suka liat aku pakek rok pendek. Gitu kan, maksudnya?"
"Ya, tergantung tempatnya. Kalo di luar, aku enggak rela kamu pamerin badan. Tapi dalam kamar kek gini, jelas aku lebih suka liat kamu buka-bukaan!"
"Gila, kamu!" Aku merutuk. Dia tertawa lagi.
"Tiga hari kemaren, kamu ngapain aja di tempat kamu nyopir?" tanyaku kemudian, seraya kembali mengelusi rambutnya.
"Mm ... ya gitu. Nganter-nganter Bosnya Bapak kemana-mana."
"Kamu kenapa sih, enggak ngasih aku kabar? Aku hawatir tau enggak? Aku pikir kamu beneran sakit." Aku mengeluh padanya.
"Maaf ... aku buru-buru. Aku juga ga boleh bawa hape sama Bapak. Dia takut aku ga konsen kerja. Kalo majikan Bapak marah, nanti Bapak bisa dipecat." Eno mengulang lagi alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Novela JuvenilTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...