Aku menatap bangunan kost di hadapanku dengan bimbang. Bangunan dua lantai memanjang dengan deretan pintu.
"Sana! Kamar Eno di atas, sebelah kanan paling ujung." Beni melihat kebimbanganku.
"Gue tunggu di sini, kalo Eno enggak ada, lo langsung turun. Kalo dia ada, lo miskol gue. Gue mau langsung cabut!" sambung Beni.
Aku mengangguk. Lalu memantapkan langkahku untu naik ke tangga menuju lantai atas. Beberapa penghuni kost nampak menatap kedatanganku. Sebagian bahkan tak sungkan menggodaku dengan siulan tengil.
Jantungku makin berdebar saja saat melihat pintu tujuanku di ujung sana. Setelah menarik nafas beberapa kali, aku mengetuk pintu itu.
"Iyaaa!" Kudengar teriakan Eno dari dalam. Tak berapa lama pintupun dibuka.
"Aya?" Wajah Eno langsung terkejut.
"Ngapain lo kesini? Sama siapa?" tanyanya tampak tak percaya.
"Sama Beni," jawabku.
"Gue kan udah bilang, lo enggak boleh datang kesini! Kok lo nekat sih?" Eno terlihat kesal.
Aku diam saja. Aku tau, Eno pasti akan marah melihat kenekatanku mendatangi tempat kostnya.
"Ayo masuk!" ajaknya kemudian. Meski wajahnya masih terlihat gusar. Aku merogoh hapeku di saku seragam. Lalu memiskol nomor Beni seperti yang dia minta.
Eno memakai kaosnya. Tampaknya dia baru saja selesai mandi.
Aku mengedarkan mataku di ruangan itu. Ada sebuah kasur busa dengan serakan pakaian di atasnya. Sebuah lemari baju plastik, televisi jadul 14 inch di atas lemari pendek, dan ada sebuah kompor gas dengan tabung melon di pojok dekat pintu kamar mandi.
Berantakan. Itu pendapatku tentang ruangan ini.
Eno meraup serakan pakaian di atas kasur, menggulungnya sembarangan lalu memasukkannya dalam sebuah wadah.
"Duduk!" ucapnya mempersilahkan aku duduk di atas kasur.
"Sekarang bilang, ngapain lo kesini?" tanya Eno.
"Mau ketemu sama lo."
"Ya elah, Aayy... lo kan bisa minta gue buat ketemu di tempat lain kayak biasa. Kenapa pakek datang kesini?"
"Nomor lo enggak aktif No. Gue udah coba hubungin lo. Bukannya lo emang sengaja ngindarin gue? Lo kenapa sih?" Aku mulai kesal juga.
Eno menarik nafas. Menatap dingin padaku lalu mendekatiku.
"Dengar, ini belum terlambat. Menjauhlah dari gue mulai sekarang!"
"Tapi kenapa?" tanyaku dengan nada tinggi.
"Kenapa? Lo tanya kenapa? Lo enggak sadar apa yang terjadi hari itu? Ha?" Eno nampak geram.
"Lo hampir aja ikutan terjerumus Ayy! Lo mau, nasib lo sama kayak Citra atau cewek lainnya yang suka ke basecamp? Lo mau kayak mereka juga?" sentaknya.
Aku diam. Menatap Eno dengan dada bergemuruh. Antara kesal dan putus asa.
"Lo enggak mau, kan? Itu juga yang gue pikirin. Gue enggak mau lo jadi seperti mereka. Mereka bukan cewek bener Ayy! Dan sama kayak lo, awalnya mereka cuma ikut-ikutan, tapi liat akhirnya sekarang!" hentaknya.
"Mereka juga cewek baik-baik kayak lo. Dan lo liat sekarang mereka gimana? Gue bahkan enggak tau mereka masih perawan apa enggak! Gue enggak mau lo jadi kayak mereka!" Eno menggoncangkan pundakku. Wajahnya memelas seolah sangat mencemaskanku.
"Tapi ada elo yang selalu jagain gue, kan?" Entah kata-kata dari mana yang aku ucapkan itu.
"Apa?" Eno tercekat. Menatapku tak percaya. Lalu dia terseyum masam, lalu kembali menatapku dengan garang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Roman pour AdolescentsTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...