Aku baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Pak Jamal pagi ini. Seperti biasa, aku akan turun di depan gerbang sekolah. Lalu melangkah masuk gerbang besi nan kokoh itu.
Diiiidd...
Suara klakson sepeda motor mengagetkanku. Hampir saja aku melompat saking terkejutnya. Segera aku menoleh ke belakang. Dan melihat Angel-lah pengendara sepeda motor itu. Dia membuka kaca helmnya lalu tersenyum padaku.
"Setan lo! Pagi-pagi udah bikin jantung gue salto!" Aku merutuk kesal.
"Hehehe... Pagi, Ayaaa... gimana motor baru gue? Bagus kan?" katanya dengan gaya pamer.
Aku perhatikan motor jenis matic warna merah mengkilat yang bahkan belum memilikki plat nomor itu.
"Waaww... keren," tanggapku.
"Mau gue ajak jalan-jalan pulang sekolah?" ajaknya.
"Ogah! Lo kan belum punya SIM. Kemampuan lo masih diragukan. Yang ada lo malah bikin gue celaka, lagi,"
"Enak aja lo! Gue udah sejak SMP bisa bawa motor. Emangnya elu, kemane-mane mesti diantar-antar sopir. Norak!" cibir gadis itu padaku.
"Huh! Blagu lo! Gue enggak bisa, bukan karna enggak ada bakat. Males aja kalo mesti panas-panasan naik motor!" Aku tak mau kalah.
"Halah! Muna' lo! Sekarang tiap hari lo dibonceng Eno naik motor, lo enggak ngeluh-ngeluh panas segala!" balasnya.
Skak!
Sialan! Aku tak bisa berargumen lagi. Ya, aku lupa kalau sekarang aku naik motor Eno tiap hari sepulang sekolah.
Angel memeletkan lidahnya padaku. Lalu melanjutkan laju motornya keparkiran.
Aaarrgghhh... aku kesal sekali. Menyebalkan! Ok, aku harus bisa bawa motor juga seperti Angel. Harus. Tiba-tiba hatiku jadi panas menggebu-gebu. Aku tidak mau kalah oleh si Lampir itu.
Tapi... percuma juga sih, aku belajar. Kalaupun aku bisa, Mama pasti tak akan membiarkan aku bawa motor sendiri. Ya, dia tak akan membiarkannya. Tak akan membelikan aku motor juga. Dia pasti akan lebih memilih menggaji bulanan tukang ojek, daripada harus membelikan aku motor.
Bodo amatlah! Yang penting aku harus bisa dulu. Masalah itu akan kuatasi belakangan saja.
****
Eno dan Awank tiba di basecamp dengan berboncengan sepeda motor. Kedatangan mereka disambut anggota basis yang sudah berkumpul lebih dulu di tempat itu.
"Pa kabar, Bang?" Beberapa dari mereka menyalami seraya menyapa Eno dan Awank, karna sudah hampir seminggu ini kedua pentolan basis itu tak terlihat di sekolah atau di basecamp lantaran diciduk aparat kepolisian saat tawuran seminggu yang lalu.
"Lo semua gimana? Ga ada yang luka parah kan?" Awank menatap anak buahnya yang minggu lalu ikut bentrok, satu persatu.
Mereka menggeleng.
"Bagus kalo gitu." Awank dan Eno segera masuk basecamp.
Di dalam sana, sudah ada Eza, Beni dan Andre yang tengah duduk berbincang di atas matras yang digelar di lantai basecamp.
"Wuiihh... tampang-tampang Abang Napi pada kusut amat?" sambut Eza sumringah. Beni dan Andre ikut menatap Awank dan Eno yang terlihat lesu.
"Ngapain lu, udah ada di sini giniari?" tanya Awank menatap Eza.
"Nengokin Abang-abang yang kemaren kena ciduk pak Polisi." Eza tersenyum mengejek.
"Si, Babi!" Awank melemparnya dengan topi. Nampak kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
JugendliteraturTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...