Entah kapan situasi ini akan berakhir. Di tempat gue, libur sekolah diperpanjang lagi. Mari sama-sama ikuti anjuran pemerintah. Jaga jarak, tetap di rumah, jangan bepergian jika tidak mendesak.
Kita sama-sama berdo'a dengan keyakinan masing-masing. Semoga pandemi ini segera berlalu. Aamiin...
****
Aku mengurung diri dalam kamar. Belum mandi, belum makan, bahkan tak mengganti seragamku. Aku masih meringkuk di atas tempat tidur. Dengan rasa takut terus menyelimuti benakku.
Sudah hampir jam delapan malam. Tapi aku belum juga menerima kabar dari Eno. Aku menatap ponselku yang ada dalam genggaman. Menunggu harap-harap cemas. Kenapa belum ada yang memberiku kabar?
Ohh... aku sudah benar-benar takut. Resah tak terlukiskan. Aku sudah mencoba menelpon dan mengirim pesan. Tapi sudah hampir satu jam berlalu, pesan yang ku kirim masih saja centang satu. Apa Eno sengaja mematikan hapenya?
Ya Tuhan... kumohon lindungi Eno dan kawan-kawannya. Jangan sampai ada yang terluka di pihak manapun. Karna apapun alasannya, aku tak bisa membenarkan tindak kekerasan yang mereka lakukan. Aku tidak suka baku hantam, tidak suka dengan bentrokan apalagi sampai dengan tawuran berdarah. Aku ngeri. Sangat ngeri.
Dering ponsel mengagetkanku, kulihat nama Beni yang memanggil di layar.
"Hallo, Ben! Ben! Gimana? Kalian baik-baik aja kan? Eno baik-baik aja kan?" tanyaku segera.
"Kita semua baik, Ayy. Ada sih beberapa anggota yang terluka. Tapi enggak parah-parah banget. Hanya Isam yang parah. Dia dikeroyok sebelum Eno datang. Tapi tenang aja, kondisinya udah stabil di rumah sakit."
Ohh... aku menghempaskan nafas panjang. Benar-benar merasa lega.
"Tapi Ayy... Eno, Awank, dan beberapa anak buah Eza ketangkep Polisi. Saat ini mereka masih ditahan. Mungkin sampai beberapa hari ke depan."
"Apa?" Aku tersentak. "Polisi? Kok bisa?"
"Bagus ada Polisi. Karna kalo enggak, Eno pasti jatohin banyak korban di pihak musuh. Gue udah lama, enggak liat dia tarung sebengis tadi."
Aku terkesiap. Dadaku menyesak mendengar laporan dari Beni.
"Udah lo tenang aja, ini bukan pertama kalinya Eno dikandangin Polisi. Palingan dua tiga hari doang. Abis itu dilepas."
Aku masih diam. Syok sekaligus bingung.
"Kita ngobrol besok aja, ya? Gue tutup dulu."
"Oh, iya, iya...," sahutku kemudian dan mengakhiri kontakku dengan Beni.
Keesokan harinya, Beni datang ke sekolahku di jam pulang. Kami memutuskan mengobrol sebentar di warung bakso depan gerbang sekolah.
"Lo enggak apa-apa Ben?" Kulihat ada lebam di pelipis Beni yang masih agak bengkak.
"Enggak apa-apa," jawabnya singkat.
"Jadi, kenapa bisa Eno ketangkep Polisi?"
"Polisi datang saat tawuran lagi panas-panasnya. Eno sama Awank termasuk yang enggak bisa kabur, Jujur, baru pertama gue lega ngeliat Eno diciduk Polisi. Karna kemarin itu, kalo saja polisi enggak keburu datang, Eno pasti udah jatohin banyak korban."
"Kenapa begitu?"
"Yang kami lawan kemarin adalah musuh bebuyutan kami. Tahun lalu, kami kehilangan teman kami bernama Arthur, dia meninggal karna dikeroyok sama mereka."
Aku menatap Beni terkesiap. Beni nampak mengingat sesuatu. Sesuatu yang terlihat menyesakkan perasaannya. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Teen FictionTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...