29. RAPUH

11.6K 677 96
                                    


Aku balik menatapnya seteduh mungkin. Kuusap lembut rambutnya dari kening kebelakang. Berusaha untuk memberikan ketenangan pada Eno agar ketakutannya mereda.

Kuraup kedua sisi wajahnya, lalu kulabuhkan kecupan panjang di kening kekasihku itu. Ya, dia masih kekasihku. Dan sepertinya akan selalu begitu.

"Aku disini sekarang! Aku enggak kemana-kemana... aku enggak akan ninggalin kamu," ucapku dengan nada selembut mungkin.

Kupaksakan bibirku untuk tersenyum. Agar Eno bisa merasakan kesungguhanku.

Dia menatapku penuh keraguan. "Kamu enggak marah lagi, kan?" tanyanya.

Aku tersenyum pahit. Lalu menggelengkan kepalaku.

"Aya." Eno memelukku. Menyesakkan kepalanya dalam-dalam ke dadaku. Dia menarikku mendekat, hingga aku terduduk di atas pangkuannya. Beberapa saat lamanya kami hanyut dalam pelukan erat dan keheningan.

"Aku kangen sama kamu... Aku pikir... kamu enggak akan pernah datang lagi. Aku pikir... kamu udah ninggalin aku, Ayy...," lirih Eno.

Aku merapatkan mataku. Memeluk kepala Eno makin erat ke dadaku. Sakit sekali mendengar kalimatnya barusan.

Aku enggak pernah niat ninggalin kamu, No. Enggak pernah... batinku dengan rasa perih menghujam perasaanku.

"Aku akan berubah... aku... akan berusaha semampu aku... okay? Jadi... jadi aku minta kamu sabar ya, Ayy?" Eno masih memelukku erat.

Aku menarik diri dari pelukan Eno. Kulihat dia belum mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Karna sesekali matanya akan terpejam seolah dia sangat mengantuk.

Kucium lagi keningnya dalam-dalam. Aku masih merasa Eno nampak ketakutan. Entah apa, tapi kupikir, aku harus menenangkan dia.

"Aku enggak mau kehilangan kamu, Ayy. Tolong, jangan tinggalin aku lagi. Aku akan berusaha untuk ngelakuin apa yang kamu mau. Tapi aku mohon kamu jangan pergi," ulangnya lagi masih terlihat kelimpungan.

"No..." Aku membelai rambutnya. Menatap dalam kedua matanya.

"Liat aku," tegasku.

"Aku di sini. Aku enggak akan ninggalin kamu. Kamu enggak akan pernah kehilangan aku." Aku meyakinkannya.

Eno terdiam. Manik matanya bergerak menelisik tiap inci wajahku seolah sedang mencari sebuah kebenaran dari perkataanku tadi.

"Kamu janji?" tanyanya kemudian.

Aku hanya mengangguk.

"Ayy!" Eno menghentak. Menciumku hingga aku tak bisa menghindar. Apalagi aku masih duduk di atas pangkuannya. Satu rengkuhan tangannya di pinggangku berpindah ke belakang kepalaku.

Membuatku terkunci dan tak berdaya menerima serangan tiba-tiba ini. Astagaaa... bau menyengat minuman keras langsung memenuhi indra penciuman juga penyecap rasaku. Meski aku tak merespon ciumannya, Eno tampak tak peduli.

Seperti tengah meluapkan rasa frustasi dan putus asa, dia tak memberiku kesempatan bahkan untuk sekedar menghela nafas sekalipun.

Bibir juga lidahnya menjelajah tanpa ampun. Dia akan menahan kepalaku dengan tangannya tiap kali aku berusaha untuk menghindar. Belum pernah Eno menciumku seganas ini.

Seolah menyiratkan dia sedang begitu dahaga dan hanya akulah yang bisa mengobati rasa hausnya itu.

Eno baru bisa berhenti saat merasakan dorongan tanganku di dadanya. Ya, nafasku sudah sesak karna paru-paruku nyaris kehabisan oksigen.

Kulihat dia terengah kepayahan. Menatapku dengan pandangan yang masih sangat menginginkan.

Ya ampun, bibirku sampai terasa ngilu dan perih. Aroma minuman keras yang sekarang terhirup di setiap helaan nafasku, juga membuat kepalaku jadi terasa pusing.

BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang