Rifan menyerahkan semua barang yang diminta oleh dua begundal itu. Tak ada perlawanan yang ditunjukkan si kemayu ini. Yah, aku faham. Rifan pasti sangat ketakutan sekarang. Bisa kulihat badannya gemetaran luar biasa."Cewek! Lepas kalung lo, cepetan!" Preman yang memegangiku menghentak lenganku kasar. Aku menurutinya. Tak mau ambil resiko juga. Wajah mereka tampak bengis dan kejam. Aku yakin, mereka bisa melukai korbannya tanpa ragu-ragu.
"Eh, boleh juga ni cewek!" Keparat yang sudah selesai memalak Rifan menatap dengan mata liar padaku.
"Jangan macam-macam!" sentakku memberanikan diri.
"Enggak, cuma mau pegang dikit!" Dia mendekat, lalu tersenyum mesum kearahku.
"Jangan apa-apain temen gue, Bang! Lo ambil motor gue aja! Biarin kita pergi!" Rifan berusaha menolongku dengan mencoba bernegosiasi.
"Diem lu!" hardik si Anting sambil mengeplak kepala Rifan.
Dia menghisap rokok dalam-dalam, lalu membuang rokoknya setelah itu.
"Buka baju lo!" suruhnya padaku.
"Apa?" Mataku membundar.
"Buka baju lo! Gue pengen liat, seseksi apa badan lo!" sentaknya.
Temannya yang memegangiku hanya tersenyum saja sambil memegangi kedua pundakku dari belakang.
"Enggak! Gue enggak mau!" tolakku.
PLAK!!
Si anting melayangkan tamparannya padaku.
Brengsek! Ini sakit... hiks. Mataku langsung memanas karna air mata yang langsung menggenang.
"Jangan pukul temen gue, Bang!" Rifan berontak, tapi si Anting langsung melayangkan tendangannya ke wajah anak itu hingga dia tersungkur ke tanah berlapis coran beton.
"Cari mati, lo ya?"
"Jangan!" cegahku cepat, karna kulihat bajingan itu mengarahkan pisau lipatnya ke arah Rifan. Dan tentu aku tak mau sesuatu yang lebih buruk menimpa temanku itu.
Si Anting kembali menatapku. "Kalo gitu cepetan buka baju, lo! Atau lo pengen gue yang bukain? Ha?"
Aku meringis. Kulirik Rifan yang tampak prihatin menatapku.
"Jangan! Gue bisa kasih semua barang-barang gue. Tapi gue mohon... lepasin kita," ucapku berusaha menawar.
"HEH!!" Si Anting meraup wajahku dengan satu tangannya.
"Berani lo ngebantah lagi, gue abisin temen lo sekarang di depan mata lo! Mau??" ancamnya.
Rifan menggelengkan kepalanya. Anak itu sudah menangis saja. Kami benar-benar tak berdaya.
Aku menelan ludah. Sungguh menyesal mengajak Rifan singgah di tempat ini. Karna biasanya, saat aku bersama Eno, tempat ini selalu aman-aman saja.
Beberapa kendaraan tampak melintas melewati halte. Tapi tak ada yang berbaik hati untuk menolong kami.
Entah karna tak melihat, entah karna tak peduli."Cepetan!!" sentak Si Anting lagi.
Aku membuka jaket denimku perlahan. Dengan air mata yang sudah bercucuran. Kulihat Rifan memejamkan matanya rapat-rapat. Seakan tak mau melihat aku yang saat ini tengah dipermalukan. Oh, ya Tuhan...
"Ooii... ngapain lo berdua?"
Tiba-tiba kudengar seseorang berseru dari arah belakang. Aku merasa mengenal suaranya. Tapi tak berani berbalik karna satu orang keparat masih memegangiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Teen FictionTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...