34. SEGALANYA

10.8K 680 144
                                    


Aku dan Eno tiba di depan gerbang rumahku. Hari sudah gelap. Aku turun perlahan dari boncengan Eno. Sepanjang perjalanan tadi, kami hanya diam. Tak saling bicara. Entah apa yang ada di benak Eno. Tapi kurasa dia pasti merasa bersalah telah mengajakku ke basecamp Eza.

"Ayy..." Eno menahan tanganku.

Aku menoleh padanya yang masih duduk di atas motor.

"Maafkan aku," ucapnya dengan wajah dipenuhi penyesalan mendalam.

"Sebenarnya, akulah yang paling bersalah atas apa yang terjadi sama kamu. Harusnya aku enggak bawa kamu ke sana. Aku benar-benar minta maaf," sambungnya.

Aku hanya tersenyum pahit. Ya, aku tau. Tak seharusnya Eno mengajakku ke sana. Tak seharusnya aku ikut. Tak seharusnya aku menginjakkan kaki di sarang berandal itu.

"Gara-gara aku, kamu sampai mendapat penghinaan dan pelecehan dari seorang berandal rendahan kayak Heri. Kamu pasti sakit hati banget," lanjutnya.

Aku hanya menundukkan kepalaku.

"Sudahlah... aku udah lupain kok. Lagian, kamu udah kasih dia pelajaran, kan?" tanggapku kemudian.

"Tapi aku udah ngerasa gagal jagain kamu. Jagain kehormatan kamu. Sampai ada orang yang berani lecehin harga diri kamu. Aku bener-bener menyesal, Ayy," kata Eno masih menyalahkan diri.

"Noo..." Aku mengusap belakang kepalanya.

"Kamu udah berusaha selalu jagain aku. Itu tadi bukan salah kamu. Aku enggak ngerasa kejadian tadi  karna kamu enggak bisa jagain aku, kok. Emang Herinya aja yang kurang ajar." Aku tak mau melihat Eno dirundung rasa bersalah lebih dalam.

Eno menatapku sangat lekat. Entah apa yang dia pikirkan, tapi kurasa dia tidak baik-baik saja dengan perasaannya.

"Di sinilah aku ngerasa, enggak seharusnya kita pacaran," celetuknya tiba-tiba.

Aku tersentak. "Maksud kamu?"

Eno menundukkan kepalanya. "Kalau kamu enggak pacaran sama bajingan kayak aku, kamu enggak akan mengalami semua penghinaan ini," ucapnya dengan nada sedih.

"No, kamu ngomong apa sih?" Aku terkejut mendengar dia berkata begitu.

"Iya, Ayy. Cewek baik-baik dan terhormat kayak kamu, harusnya enggak pacaran sama orang macam aku. Jangankan pacaran, untuk kenal aja, seharusnya enggak pernah kamu lakukan," tukas Eno dengan wajah sendu.

Melihat wajah pilunya itu, aku tak kuasa menahan kesedihan. Seperti biasa, air mataku sudah menggenang saja dengan mudahnya.

Aku peluk Eno sepenuh hati. Melingkarkan satu tanganku ke belakang lehernya dan tangan yang lain kebelakang punggungnya. Sangat erat.

"Aku yang sudah pilih kamu atas kemauan aku sendiri. Hati aku yang sudah putuskan ingin untuk kamu milikki. Enggak ada yang lebih layak dari kamu, No. Enggak ada yang lebih berhak dari kamu," ujarku dengan air mata berderai.

Eno membalas pelukanku. Tak kalah erat. Hingga tubuh kami melekat tanpa ada jeda walau untuk udara yang sekedar ingin mengalir.

"Aku enggak mau kehilangan kamu. Tolong, jangan ucapkan lagi kata-kata kayak gitu. Kamu hanya milik aku, No. Aku enggak akan rela kalo kamu lepasin aku hanya karna masalah enggak guna kayak gini," kataku meyakinkannya.

"Tapi aku enggak akan tahan, kalo ngeliat kamu dilecehkan kayak tadi lagi Ayy... Kamu hal yang paling berharga yang aku punya. Aku enggak bisa liat ada orang yang berani merendahkan kamu," balas Eno dengan suara dalam.

"Gara-gara kecerobohan aku bawa kamu ke sana, tangan kotor keparat macam Heri sampai pegang kamu. Ngebayanginnya aja aku enggak rela." Wajah Eno tertunduk dalam.

BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang