Tak lama kemudian, knop pintu bergerak. Pintu terbuka, kulihat Eno muncul dari dalam dengan wajah terkantuk-kantuk ...."Aya?" Eno tersentak mendapatiku berdiri di muka pintu kamar kost-nya. Untuk sesaat ia tercengang, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Tampak tak percaya dengan penglihatannya.
"Ayy? Kamu dari mana?" Dia langsung menangkap kedua bahuku.
Aku masih diam. Membeku. Dengan tangisan tertahan di tenggorokanku.
"Sayang?" Dia menggoncangkan tubuhku. Lalu menarikku masuk ke dalam kamarnya.
"Aya?" Wajah cemas Eno langsung dapat kusaksikan dengan jelas.
Aku masih diam. Karna aku tak tau harus mulai dari mana. Pikiranku benar-benar terasa gelap seolah aku sedang tersesat.
Eno tak lagi bertanya. Ia segera mengambil selimut, lalu menutup tubuhku yang basah kuyup dengan selimut itu.
Dia kembali menatapku dengan sorot khawatir sekaligus penuh tanda tanya. "Heyy ... katakan sesuatu, apa yang terjadi?"
"No ... hk ... hk ... Enooo...!" Tangisku meledak juga akhirnya. Aku menghambur memeluk Eno yang masih kebingungan.
Kutumpahkan semua airmata yang sudah tertahan sejak tadi di bahunya. Meraung tanpa kendali. Aku tak peduli. Aku sudah tak tahan lagi dan merasa sudah berada di titik batas kemampuanku.
💔
Aku masih duduk di atas kasur busa Eno dengan selimut menutup tubuhku. Merasakan kakiku pegal bukan main akibat jalan kaki cukup jauh. Eno tampak sibuk. Dia membuatkan teh hangat untukku. Lalu melepas sepatuku yang sudah lecek tak berbentuk.
Setelah itu, dia mengambil handuk bersih dan jaket hoodienya dari dalam lemari.
"Kamu ganti baju dulu. Baju kamu basah. Kalo enggak diganti, kamu bisa masuk angin. Ayo ganti!" katanya sambil menyodorkan handuk dan jaket itu padaku.
Aku menurut. Menerima kedua benda itu lalu masuk ke kamar mandi. Melepas semua bajuku termasuk bra, lalu memasukkanya dalam ember kosong wadah cucian yang ada di sudut kamar mandi. Aku hanya menyisakan celana pendek dalaman saja yang tak mungkin aku lepas.
Kubersihkan badan ini sebentar. Sekedar cuci muka, tangan dan kaki. Mengeringkan wajah dengan handuk, lalu memakai jaket hoodie warna abu milik Eno yang kebesaran hingga sampai di atas lututku.
Saat aku keluar kamar mandi, Eno sudah menungguku dengan harap-harap cemas. Dia menarikku untuk duduk lagi di dekatnya.
"Sekarang, kamu bisa cerita sama aku, bagaimana bisa jam segini kamu masih keliaran dan datang ke sini? Ada apa? Bilang sama aku!" tanya Eno sambil menatap wajahku penuh rasa khawatir.
Mendengar pertanyaan Eno, membuatku ingin menangis lagi. Aku tak tahan. Akhirnya aku kembali menangis. Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Kurasakan Eno menarikku dalam pelukannya.
"Sstt ... udah ... jangan nangis terus. Kamu enggak usah cerita kalau kamu enggak mau." Eno mengusapi bahuku dengan lembut. Lalu menyodorkan teh yang tadi ia buat untukku.
Aku meminumnya, tidak hanya sedikit. Tapi nyaris menghabiskannya karna aku benar-benar merasa tenggorokanku kering.
"Pelan-pelan ...." Eno mengingatkanku.
Aku berusaha menenangkan diri sebisa mungkin, agar bisa mengatakan apa yang terjadi pada Eno. Dia nampak menatapku dengan prihatin.
"Kamu baik-baik aja, kan? Enggak kenapa-napa kan?" Penuh rasa cemas Eno menatap tiap inci tubuhku seolah takut ada bagian yang terluka. Dia pasti sangat kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Teen FictionTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...