______
Dering bel tanda usai pelajaran menggema. Aku segera membereskan isi tasku. Lalu bergegas melangkah keluar kelas. Tak sabar, dengan perasaan was-was penuh harap. Setengah berlari aku keluar dari gedung, menuju gerbang sekolah, dengan diliputi asa yang sudah memenuhi pikiranku.
Hari berganti hari. Minggu berganti bulan. Hidupku terus berjalan. Meski dengan terseok-seok ... meski harus tertatih-tatih ... meski kesakitan ini tak pernah beranjak meninggalkanku. Tapi harapanku tak pernah padam, tak pernah mati.
Tahun ajaran baru sudah dimulai. Kini aku sudah duduk di kelas 12. Menyandang predikat sebagai siswi senior di sekolah. Predikat yang membuat pola pikirku ikut bertambah dewasa.
Benar. Aku sedikit lebih dewasa sepertinya. Baik pemikiran maupun caraku bersikap. Ada banyak perubahan yang terjadi. Terhadap pribadiku, terhadap hidup yang sekarang aku jalani.
Hanya satu hal saja yang tidak pernah berubah. Satu hal yang hingga saat ini terus membelenggu diriku. Satu hal yang tak pernah bisa beranjak walau barang sejenak saja dari pikiranku... Cintaku untuk dia, kekasihku...
Langkah kaki ini terus melaju. Saat kulihat gerbang di depan sana. Semangatku kian terpacu, harapanku makin menggebu... mengabaikan ramainya lalu lalang kendaraan maupun siswa lainnya yang berada di sekitarku. Ya Allah... mungkin hari ini dia akan datang... mungkin hari ini...
Begitulah debaran perasaanku tiap kali jam pulang sekolah tiba. Tak bosan, tak lelah, dan tak pernah terputus harapanku itu ...
Tapi lagi-lagi, seperti hari-hari sebelumnya. Aku akan kecewa, menunduk dengan jiwa dan perasaan hampa. Karna tak kulihat motor Eno di depan gerbang. Tak kudapati lagi motor nyentrik modifikasi kesayangan Eno itu menungguku di depan kios bakso.
Sudah lima bulan ini, setiap kali jam pulang tiba, aku akan berlari menuju gerbang. Penuh harapan, harapan tiba-tiba Eno datang menjemputku. Seperti dulu, sebelum hari nahas itu merenggut semuanya dariku.
Langkahku kian gontai. Menghampiri pagar besi nan kokoh itu. Pagar besi yang pernah menjadi saksi, bagaimana kekasihku, cintaku, berandal manis kesayanganku selalu setia menunggu untuk menjemputku pulang.
Ahh... nafasku makin terasa sesak. Kulempar pandanganku keluar gerbang. Dan kulihat Eno keluar dari kios bakso. Tersenyum menawan menyambut kedatanganku. Memamerkan deretan giginya yang cemerlang, menunjukkan kecintaannya padaku. Ya, seperti biasa. Selalu. Seperti itu. Akupun tersenyum menatapnya. Senyuman hampa. Senyuman yang terasa sangat menyakitkan.
Eno masih berdiri di sana. Menungguku dengan senyumnya. Menungguku menghampirinya, dengan seragam putih abu yang serabutan itu. Menggodaku dengan gaya jenaka, mengecup jari telunjuknya kemudian menunjukku seraya memiringkan kepala...
Senyumku merekah, untuk sekilas aku merasa lupa pada beban kerinduan tak bertepi, yang senantiasa menghimpit perasaanku. Karna tiap kali aku berdiri di gerbang sekolah ini, maka bayangan Eno dengan seragam serabutannya itu akan segera menyambutku, menggodaku. Bahkan aku masih bisa mendengar dengan jelas suara tawanya, merasakan sentuhan dan pelukannya, mencium aroma tubuhnya. Seolah dia benar-benar ada di dekatku. Ya, Eno memang tak pernah pergi dari pikiranku. Dia telah memiliki hati juga hidupku sepenuhnya. Seakan jiwaku dan jiwanya sudah terikat satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BADJINGAN (BUKBAD) tamat & lengkap ✅
Ficção AdolescenteTak terlukiskan betapa bahagianya aku pernah menulis cerita ini. Kisah yang hingga kini masih menyisakan sukacita mendalam saat aku membacanya. Kisah yang selalu menggetarkan hati. Kisah yang selalu menghanyutkan jiwa hingga aroma kenangannya tak p...