BAB 8

1.6K 174 22
                                    

Hi Wellcome Back!
Minggu ini aku UP lebih awal yaa... So, besok aku engga akan UPDATE.

Hope you enjoy my story🖤

🖤HAPPY READING🖤
--------------------------------------------------------

Perlahan aku membuka mataku. Beberapa kali aku mengerjapkan mata berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Pandanganku terhenti pada seseorang yang tengah duduk tertidur di kursi, tepat di samping kasur.

"Axele?" Saat aku mencoba menggeser tubuhku, tiba-tiba seluruh tubuhku terasa sakit. Seolah seperti habis dipukul orang banyak, rasa ngilu itu menusuk masuk hingga ke tulang-tulang. Aku mendesis menahan sakit dan mengambil posisi duduk.

Gerakanku yang grasak-grusuk, akhirnya membangunkan Axele. "Sudah berapa lama kamu bangun?" Dia menatapku dengan mata kantuknya. "Tunggu sebentar, akan kupanggil dokter kemari."

Axele segera pergi dari ruangan. Di saat bersamaan aku melihat sekeliling, tembok dengan cat dinding putih dan pink ini,

aku berada di kamarku sendiri.

Sebuah jarum infus terpasang di tanganku. Aku mengerutkan dahi dan memegang kepalaku yang terasa sakit. Entah apa yang terjadi, karena yang terakhir kali aku ingat hanya Axele membopongku keluar sampai ke perbatasan hutan kecil itu. Lalu, ada George yang tengah menunggu di samping mobil. Saat itu aku masih bisa mendengar Axele yang menjawab panggilan telepon, lalu perlahan suara itu mulai seperti dengungan nyamuk di telinga, dan semuanya putih.

Tidak jauh dari tempat tidurku terdapat sebuah sofa putih yang cukup besar dengan bantal dan selimut di atasnya. Aku sangat ingat bahwa benda itu tidak ada sebelumnya. Apa mungkin itu ulah Axele?

Aku tidak tahu kenapa aku tersenyum. Hanya saja aku merasa,

senang?

Tidak lama kemudian, pintu kamar kembali dibuka. Masuk seorang pria dengan jas putih kedokteran, memakai kacamata berbingkai tipis. Dokter yang sama yang datang merawatku setelah kejadian waktu di ruang latihan tembak. Hanya saja waktu itu aku tidak sempat menanyakan namanya. Bersamaan dengan datangnya dokter itu, Axele menyusul di belakangnya.

Pria itu menghampiriku dan mengeluarkan stetoskop dari saku jasnya "Mrs. Archiller," panggilnya. "Aku akan memeriksa kondisimu sebentar. Boleh tolong berbaring?"

Aku mengangguk dan mengikuti instruksinya.

"Permisi," katanya sembari menempelkan stetoskop itu pada perutku.

"Jangan sentuh dia sembarangan." Ucapan Axele berhasil membuat dokter muda itu menghentikan pekerjaannya. Kami berdua terpaku menatap Axele dengan wajah antara bingung dan kesal.

"Apa?" tanya Axele acuh. "Cepat lakukan pekerjaanmu."

Dokter muda itu hanya menghela napas, kemudian kembali melanjutkan apa yang seharusnya dia kerjakan. Setelah selesai, dia melepaskan stetoskop itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku jas kedokteran.

"Bagaimana keadaannya?" Sejak dokter ini masuk ke dalam kamarku, Axele menatapnya dengan sorot mata tajam.

"Sebelumnya, aku takut racun itu akan berdampak fatal untuknya, bahkan proses penyembuhannya sendiri sangat berisiko dan tidak jamin seratus persen sembuh."

"Jangan bertele-tele, Matteo. Kau tahu aku benci hal itu," kata Axele cepat.

"Tenanglah. Dilihat dari kondisi sekarang, asumsiku racunnya sudah hilang. Bersyukurlah, karena proses pemulihan istrimu terbilang cepat. Umumnya orang baru bisa pulih seminggu setelah mengalami demam tinggi, bahkan tidak sedikit yang meninggal."

Perfect Villains✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang