BAB 52

803 86 9
                                    

Hi Wellcome Back!

Hope you enjoy my story🖤

🖤HAPPY READING🖤

--------------------------------------------------------

Setelah mengetahui posisi Axele aku fokus menaiki anak tangga dengan cepat. Begitu sampai di lantai 23, puluhan peluru yang menyamut kedatangan kami. Dengan cepat, kita langsung bersembunyi di balik dinding, lalu sesekali menembak menjatuhkan orang-orang itu.

Aku menyusuri lantai ini mencari Axele. Tidak terlalu sulit menemukannya mengingat bentuk bangunan ini adalah melingkar.

"Axele!" pekikku sembari kulemparkan lima pisau secara bersamaan, mengenai kepala lima orang yang berusaha menyerangnya dari belakang.

"Bodoh!" Aku menonjok pundaknya. "Bagaimana bisa kamu lengah disaat seperti ini?"

"Itu bukan lengah. Aku hanya memberimu kesempatan untuk menambah poin."

"Kamu meremehkanku?" tanyaku kesal.

Tiba-tiba datang belasan orang bersenjata mengepung kita, dan menembakkan senjatannya. Axele langsung berdiri di belakangku. "Tolong jaga belakangku."

"Bagaimana kalau kita adu skor?" tanyaku sembari melemparkan beberapa pisau ke kepala mereka satu persatu.

"Baiklah," katanya menggantung sembari menembak. "Jangan menangis kalau kalah."

Akhirnya kita bisa bernapas lega sejenak, setelah selesai menghabisi puluhan tentara VSA yang mengepung kita tadi. Hanya saja, dalam medan perang tidak akan ada waktu untuk membiarkanmu istirahat, meski hanya sebentar.

"Chessy, Axele," panggil Lia lagi. "Segera ke lantai 26. Orang yang kamu sebut Papa itu melarikan diri lewat tangga belakang."

"Bagaimana dengan Elphizo? Kita terpisah tadi."

"Dia baik-baik saja, begitupun Max. Biar mereka yang membersihkan jalan kalian. Tetap fokus menangkap pria tua itu!"

"Baik, aku mengerti." Aku dan Axele saling menatap mencoba menguatkan, lalu berlari menaiki anak tangga sampai lantai 26.

Di pertengahan jalan, tiba-tiba ada sepuluh orang bersenjata berat yang menghalangi jalan. "Tinggalkan bagian ini untukku. Fokus pada rencanamu!" Axele langsung menghadapi sepuluh orang itu dan melindungiku yang mengambil jalan memutar. Tanpa ragu aku meninggalkannya di belakang. Aku yakin dia tidak akan kalah semudah itu.

"Chessy, dia berhasil turun sampai lantai 24," kata Lia setengah berteriak. Aku tetap diam, berusaha tetap tenang. Terus mendengarkan instruksi dari Lia, dan berpikir cepat adalah yang terbaik saat ini. "Dia lari ke arah lift. Sergap di pertinggan, satu lorong sebelum lift," kata Lia cepat.

Tiga.

Dua.

Satu.

Aku berhasil sampai lebih dulu, satu lorong lebih depan sebelum Papa berhasil masuk ke area lift. Melihatku yang tiba-tiba muncul di depannya, membuat pria tua itu terkejut, dan langsung berhenti berlari.

"Lama tidak bertemu, Papa."

"Chessy." Mereka perlahan melangkah mundur, membuat jarak yang lebar denganku.

Aku membulatkan mata terkejut, lalu tertawa. "Anda mengingat saya? Padahal kita hanya bertemu sekali."

"Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan."

"Oh ya?" Aku melangkah perlahan mendekati mereka. "Saya tidak yakin." Ketika aku bersiap melempar pisauku, kedua agen yang melindungi Papa menodongkan senjata mereka. Papa melangkah mundur melindungi dirinya.

"Tolong turunkan senjata, dan serahkan diri anda," kata salah satu agen pria dengan rambut hitam ke merahan.

"Aku penasaran," kataku menggantung. "Mana yang lebih cepat? Pisauku atau pelurumu."

Sepersekian detik sebelum bunyi tembakan terdengar, aku melempar empat buah pisau sebanyak dua kali. Untuk sesaat, keadaan menjadi hening. Kemudian, terdengar bunyi pisau dan peluru yang jatuh berbenturan dengan lantai.

Seperti orang yang tercekik, kedua agen itu membulatkan matanya dan membuka mulutnya lebar. Tangan mereka meraba-raba leher yang sudah berlubang dan bersimbah darah. Empat pisau pertama yang kulempar, berhasil menjatuhkan dua peluru yang mereka tembakkan, dan Empat pisau yang mengikut setelahnya, berhasil menancap mulus di leher mereka.

Melihat kedua agennya yang sekarat di lantai. Papa langsung lari ketakutan menjauhiku, dia pergi menuju tangga darurat.

"Anda tidak akan pernah bisa lari!" Aku melempar sebilah pisau mengenai kaki Papa, dan membuatnya terjatuh. "Sakit? Itu belum sebanding dengan apa yang sudah kalian lakukan pada Kayle!" Saat hendak melempar beberapa pisau lagi, ternyata tidak ada lagi yang tersisa.

"Kenapa, kehabisan senjata?" Melihatnya masih bisa tertawa membuatku semakin ingin menghabisinya sekarang juga. Kukeluarkan pistol yang sejak awal tersimpan di sabukku. "Kamu tidak bisa menggunakannya."

"Bukan masalah." Aku menyungging senyum. "Setidaknya dengan jarak sedekat ini, aku tidak mungkin melewatkan apapun."

'DOR'

"Ups, itu meleset. Dimana jantungmu?" kataku begitu tembakan pertama berhasil mengenai perut kanan bawahnya.

Tembakan kedua terdengar lagi. "Dan itu seharusnya di lehermu," jelasku dengan nada lirih ketika peluru kedua berhasil mengenai bahu kanannya.

Melihat aku yang semakin menggila, Papa menangis ketakutan dan berusah lari dari sana dengan kaki pincang. Seberapa banyak dia mencoba berdiri, dia kembali jatuh. Kedua kakinya terluka parah.

"Baik, kita sudahi main-mainnya." Aku langsung menarik kakinya mendekat. Kucabut pisau yang menancap di betis kanannya, lalu kutusuk lagi paha kirinya. "Dengar, dan ingat namaku. Nama orang yang akan membunuhmu, Chessy Abilene."

Tubuh Papa gemetar hebat. Dia menangis ketakutan dan meringis kesakitan. Wajahnya penuh keringat dingin. Akan kupastikan dia tidak akan mengalami kematian yang mudah. "Congratulation, you get a free ticket straight to the hell," bisikku di telinganya.

"Tu-tunggu. Ka...mu salah―"

'Cklik!'

Itu seharusnya bisa menjadi tembakan terakhir yang menembus tempurung kepalanya. Aku menatap kesal pistol itu, dan membuangnya sembarangan. Melihat aku kehabisan amunisi, membuat Papa tertawa lega. "Kamu tidak lagi bersenjata! Kamu tidak bisa membunuhku!"

"Aku tidak butuh senjata," kataku lalu menepuk pundak kanannya yang tertembak.

"A-apa yang mau kamu lakukan?" Suaranya bergetar.

Aku tersenyum lebar, lalu mengatakannya dengan santai. "Mematahkan lehermu." Saat itu juga, satu hentakan berhasil membuat posisi wajah Papa menghadap ke arah punggungnya.

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memenuhi satu lantai ini. "Chessy! Dia bukan orangnya!"

'DOR!'



TBC.

Jangan lupa Vote dan Comment untuk support yaa, agar author makin semangat bikin ceritanya❤

Hope you enjoy this story(*^3^)/~♡

🖤THANKYOU🖤

Perfect Villains✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang