Hi Wellcome Back!
Hope you enjoy my story🖤🖤HAPPY READING🖤
--------------------------------------------------------"Hei." Aku mencoba membangunkan wanita itu. Dia tidak juga bangun. Aku mendekatkan jariku ke hidungnya.
"Tenang saja, dia masih hidup." Sebuah suara yang sangat tidak asing di telingaku. "Walau dia tidak akan pernah bisa berbicara lagi," tambahnya santai.
Di ujung lorong, tempat dimana awal aku masuk. Axele berdiri di sana dengan tatapan dingin. Dia berjalan ke arahku, setiap langkah yang dia ambil membuatku terasa semakin dekat dengan kematian. Aku mencoba menghampirinya, berharap ada penjelasan yang tepat untuk hal ini dan dia mempercayainya.
"Axele, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku—"
"Kamu tidak perlu menjelaskannya lagi. Setiap kata yang kamu ucapkan akan membuatku semakin buta."
"Tidak, kamu dengar dulu."
"Ya, aku harap kamu punya alasan bagus kali ini. Coba jelaskan kenapa kamu bisa sampai di sini dan bagaimana bisa kamu membuka pintu itu tanpa aku beritahu sandinya?" Mungkin dia tidak berteriak marah, tapi ucapannya yang datar lebih mematikan daripada amukannya.
"Axele, aku tidak sengaja menemukan tepat ini. Awalnya aku ingin melihat buayamu, lalu aku menemukan ruangan ini. Karena penasaran aku meretas sistem keamanan pintu itu dan berhasil membukanya."
"Sangat kebetulan sekali, ya?" Aku tidak mengerti arti dari tatapannya itu. Aku hanya merasa hari ini aku akan mati. "Sepertinya instingmu sangat kuat, Nyonya Archiller."
"Mungkin, tapi aku mengatakan yang sebenarnya."
"Oh, aku paham sekarang. Kamu meneleponku untuk memastikan aku tidak pulang lebih awal dan mengagalkan rencana penyeludupanmu ini?" Belum sempat aku memberikan pembelaan, dia langsung mencengkram tanganku dan menarik paksa. "Kamu ingin tahu semuanya, bukan? Kalau begitu kamu bermalam saja di sini." Dia menyeretku masuk ke dalam ruangan itu.
"Axele, jangan— Aku mohon, Axele." Tenaga dia terlalu kuat dan aku tidak bisa melawannya sekarang. Aku belum menemukan barang milik VSA dan selama itu, aku harus tetap menjadi Kayle di depannya. Hanya saja Axele,
dia tidak peduli.
Kali ini dia seperti sedang menutup telinganya. Dia tetap memasukkanku ke dalam ruangan yang sama dengan wanita asing itu, dan mengunciku di dalam. "Axele, aku minta maaf— Axele! Tolong keluarkan aku, tempat ini menakutkan. Tolong, aku salah. Aku mohon keluarkan aku."
Aku terus meneriaki namanya dan menggedor-gedor pintu. Meski begitu, dia tetap pada keputusannya. Perlahan aku mendengar langkah kaki yang pergi menjauh, hingga tidak ada suara yang tersisa selain teriakanku.
"Hah!" Aku menghapus air mataku kasar. "Percuma aku berteriak-teriak, dia benar-benar tega menyekapku di bawah sini."
Dibandingkan rasa kesal, entah kenapa dadaku lebih terasa sesak. Seolah udara yang aku hirup berubah menjadi sayatan di dalam. Masih belum menyerah, aku mencoba memasukkan kode yang sama pada papan sandi yang ada di dalam ruangan, tapi kode itu tidak diterima.
"Dia mengganti kodenya," gumamku diiringi helaan napas.
Aku merogoh saku mencari sesuatu yang seingatku bisa digunakan untuk membuka pintu ini. Seketika aku baru sadar kalau alat peretas itu sudah aku buang ke kolam asam. Sekarang yang aku punya hanyalah sebuah ponsel tanpa jaringan dan baterai yang hampir habis.
"AXELE SIALAN!" pekikku berharap dia mendengarnya, walau itu mustahil.
Aku membelakangi pintu dan mencari tempat untuk istirahat. Walau sebenarnya jika dilihat-lihat tidak ada tempat yang layak. Mencium aroma ruangan ini saja sudah membuatku mual, apalagi tidur di atas kerak dan genangan darah ini. Lagi-lagi pandangan mataku tertuju pada wanita yang terantai di seberang sana. Matanya mengerjap, sepertinya keributan tadi cukup menganggu tidurnya. Wanita itu membuka mata dan menatap lurus ke depan, tatapan matanya sangat kosong.
Sepertinya dia tidak sadar ada orang lain di ruangan itu selain dirinya. Dia sama sekali tidak melihat ke arahku.
"Hei," panggilku sembari mencoba mendekatinya. "Kamu akan baik-baik saja, Ok? Aku akan menolongmu keluar dari sini." Dia tidak wajahku meski sudah berdiri di depannya, tatapan matanya tetap kosong lurus ke depan.
Dia tidak menjawab atau merespon sedikitpun dari apa yang aku katakan. Aku jongkok di depannya, kami melakukan kontak mata. Hanya saja, lagi-lagi yang bisa wanita itu berikan hanyalah tatapan kosong.
"Aku tidak akan menyakitimu. Della, benar?"
Ada satu pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Apa yang sudah dilakukan wanita ini sampai Axele harus menyiksanya seperti ini, dan siksaan seperti apa yang Axele berikan sampai wanita ini seperti tidak berjiwa lagi. Seolah yang membuat dia bisa dikatakan hidup hanya karena dia masih bernapas. Tapi tatapan matanya, ekspresi dan responnya, semuanya kosong dan datar. Ini lebih menyeramkan daripada kematian.
Lagi-lagi aku menarik napas panjang. Aku naik keatas bathtub dan duduk bersandar di sana. Mungkin besok Axele akan membukakan pintu ini untukku. Dia tidak akan sekejam itu, aku tahu dia. Amarah dia hanyalah amarah sesaat, dia akan mengeluarkanku besok. Aku hanya perlu bertahan di sini.
♠ ♠ ♠ ♠ ♠
Aku terbangun dengan kepala yang terasa ingin pecah. Mengharuskanku tidur di atas bathtub benar-benar membuatku kesal.
'ERRR...' Aku menoleh ke arah sumber suara yang sejak tadi menjadi alasan aku terbangun. Saat itu juga, aku menemukan Della tengah menggeram sembari mengigit tangannya sendiri.
"Hei! Apa kamu gila!?" Aku langsung menghampirinya, dan berusaha menjauhkan tangannya dari mulutnya sendiri.
Dia menangis dan menjerit kesakitan, tapi di saat bersamaan dia tetap mengigit tangannya. Aku semakin panik ketika melihat dia menggerogoti tangannya sampai berdarah. "Tanganmu berdarah, Idiot! Cepat lepaskan!" Butuh waktu dan tenaga sampai akhirnya dia melepaskan tangannya sendiri.
Selang beberapa detik, dengan tiba-tiba dia menarik tangan kananku dan mengigit jariku.
"ARGH!!!"
Reflek, langsung kubenturkan kepalanya ke dinding yang ada di belakangnya, hingga dia pingsan. Seharusnya aku tahu kalau sewaktu dia melepaskan tangannya sendiri, itu karena dia menemukan daging lain untuk dia gigiti.
Dengan tangan kanan yang gemetar, aku mundur perlahan dan bersandar di sisi dinding lainnya. Kucoba untuk mengembalikan napasku yang masih tersenggal-senggal. Aku menatap lurus ke arah Della, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Jari tangan kananku berdenyut hebat, dia menggigitnya hingga sobek.
Tanpa berpikir panjang, aku mencari kain untuk menutup luka. Kalau beruntung aku bisa menemukan alat untuk menjahitnya sekarang. Sayangnya dengan kondisi terkurung di ruangan yang tidak begitu besar, tentu saja mustahil mendapatkan kain untuk memerban luka.
Aku melihat ada gunting rumput di atas meja. Awalnya ragu, tapi di kondisi seperti ini, tidak ada kata terlalu berlebihan untuk melakukan sesuatu. Saat aku hendak memotong ujung pakaianku dengan gunting, tiba-tiba perkataannya terlintas di benakku, 'tutupi perut buncitmu itu.'
Aku terdiam sejenak, tanganku bergemetar hebat karena menahan sakit. Sudut bibirku terangkat sedikit, aku tertawa ketika menyadari bahwa aku masih peduli dengan semua kata-kata pria keparat itu. Tanpa sadar, pelupuk mataku terasa berat.
Tidak, aku tidak boleh menangis. Tidak di saat seperti ini.
TBC.
Jangan lupa Vote dan Comment untuk support, agar author makin semangat bikin ceritanya🖤
Q : Kalau kalian di posisi Kayle yang terlihat seperti ayam goreng bagi Della, apa yang kalian lakukan?
Semoga ceritaku bisa menemani kegabutan kalian ya ヽ(^。^)丿
Untuk menebus kekejamanku karena publish cerita malam-malam dan mungkin membuat kalian tidur dengan segudang pertanyaan wkwkwk..
Hari ini aku UP dua Chapter sekaligus. Jadi di baca baik-baik ya, jangan sampai ada yang kelongkap! └(★o★)┐
🖤THANKYOU🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Villains✅
RomancePublished : 02/02/2020 ✖ DON'T COPY MY STORY‼✖ Axele Archiller, dia tidak lebih dari seorang pria yang punya masalah dengan EQ tingkat rendah dan untungnya dia terlahir kaya dan tampan. Hanya saja nasibnya kurang beruntung karena harus menikahi seor...