Hi Wellcome Back!
Hope you enjoy my story🖤
🖤HAPPY READING🖤
--------------------------------------------------------
"Semuanya sudah di sini. Apalagi yang kamu tunggu?" Aku menatap dokter Matt kesal. Sejak tadi dia seperti sedang mengulur waktu. "Aku tidak punya kesabaran untuk hal semacam ini."
"Baik, aku hanya bingung bagaimana menjelaskannya." Dokter Matt memijat pangkal hidungnya, dan menarik napas panjang. "Penyebab kematian Judith adalah luka tembak. Ahli forensik menemukan dua belas peluru yang merusak organ dalamnya, dua diantaranya merusak paru-parunya. Membakar korban hanya tindakan lain agar orang kesulitan mengenalinya."
"Itu mustahil," sanggah Max cepat. "Meskipun aku mabok, tidak mungkin aku tidak bereaksi dengan suara tembakan. Selain itu dua belas tembakan tidak mungkin bisa dilakukan tanpa membangunkan orang rumah."
"Apa yang dikatakan Max benar. Mereka juga menemukan ada luka di bagian leher dan kaki. Orang yang menyerang Judith pasti membuatnya pingsan lebih dulu. Lalu, membunuhnya di luar area ini dan mengembalikan jasadnya ke taman belakang. Lagipula kita tidak menemukan ada rumput yang rusak karena terbakar ataupun noda darah di tanah." Dokter Matt mengeluarkan sekantung peluru yang telah dibungkus dengan plastik klip dari saku jas kedokterannya. "Ini peluru yang berhasil dikeluarkan dari tubuhnya."
Max mengambil sekantung peluru dari tangan dokter Matt. Dilihatnya dengan saksama lalu mulai mengidentifikasi jenis pelurunya, "Aku tidak bisa pastikan hal ini, tapi dilihat dari desain pelurunya. Ini berasal dari senjata laras panjang yang belakangan ini sering muncul di pasar gelap."
"Kamu tahu siapa yang menjualnya?" tanya Lia.
"Aku tidak tahu, tapi orang-orang menyebutnya, red bird." Max menunjukkan sebuah ukiran kecil di peluru itu.
"Red bird, burung merah," gumam Elphizo pelan.
"Kamu tahu sesuatu?" tanya Lia.
Elphizo tersentak, dia menyadari sesuatu. "Coba aku lihat." Diambil peluru itu dari Max dan dilihatnya. "Apa kamu menyimpan kaca pembesar?" tanyanya pada Axele.
Axele hanya menatap tajam ke arah Elphizo. "Chessy, tolong ambilkan kaca pembesar di laci mejaku."
Aku mengangguk, dan langsung bergegas mengambil apa yang Elphizo butuhkan. Ini cukup aneh rasanya sewaktu Axele sendiri yang memintaku membuka laci mejanya, mengingat area ruang kerjanya adalah yang dulu paling dia jaga dariku.
"Ini." Aku memberikan kaca pembesar itu pada Elphizo.
Elphizo menggunakan kaca pembesar itu untuk melihat jelas ukiran kecil yang ada di peluru itu. Tidak lama dia menyungging senyum, dan tertawa kesal.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ukiran kecil dengan lambang burung ini...." Dia mendengus kesal. "Ini bukan burung biasa, ini phoenix."
"VSA," jelasku.
"Benar. Beberapa minggu terakhir mereka memang sedang merancang senjata dengan peredam suara, tapi aku tidak menyangka kalau―"
'BUK!'
Belum sempat Elphizo menyelesaikan perkataannya. Satu tinju mendarat di wajahnya dan membuatnya terjatuh.
"BRENGSEK!" Max kembali meninju perut Elphizo hingga membuatnya terbatuk-batuk. "Kamu selama ini berpura-pura ada di pihak kita, hanya untuk melenyapkan kita?! Aku ingin lihat seberapa hebat pecundang sepertimu!!"
"Max―" Ketika aku hendak menghentikan mereka, Axele menahanku.
"Biarkan dia meluapkan emosinya." Axele memintaku untuk diam dan menonton, tapi masih banyak pertanyaan yang harus kuketahui sebelum Max membuat Elphizo tidak bisa bicara lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Villains✅
RomancePublished : 02/02/2020 ✖ DON'T COPY MY STORY‼✖ Axele Archiller, dia tidak lebih dari seorang pria yang punya masalah dengan EQ tingkat rendah dan untungnya dia terlahir kaya dan tampan. Hanya saja nasibnya kurang beruntung karena harus menikahi seor...