part34

5.2K 314 34
                                    

For the first, happy reading and enjoy the story...

Edward bisa saja meminta bantuan perawat untuk mengantar dirinya kembali keruang rawat inap. Namun, entah kenapa alih alih meminta bantuan para perawat yang sedari tadi berlalu lalang dihadapannya, Edward malah memilih menunggu Mirella kembali menjemputnya. Cukup lama Edward menunggu, tapi waktu seolah enggan memberi peringatan agar ia pergi meninggalkan taman yang tidak lagi menenangkan hatinya seperti senja. Mungkin tidak sepenuhnya ia menunggu kehadiran wanita berambut hitam kecoklatan tersebut. Karena kini, keberadaannya ditaman malah lebih terlihat seperti seorang pria yang sedang menenangkan diri dan merenung dari satu hal yang membuat perasaannya menjadi kacau. Edward Williams, begitu setia terduduk dikursi roda ditemani segala tanya yang bermunculan tidak terkendali. Katakan ia selalu menolak untuk tahu segala hal tentang kehidupan Mirella terlebih sejak perpisahan dengannya empat tahun yang lalu. Dan seharusnya, kini iapun melakukan hal yang sama. Bersikap tidak peduli tentang kehidupan pribadi Mirella, terutama tentang hubungannya dengan Ryan.

Bukankah semuanya sudah berakhir? Bukankah Edward sendiri yang mengakhiri hubungan dengan Mirella dan memilih pergi meninggalkannya dalam situasi yang sulit? Lalu untuk apa ia berpikir keras? Memangnya apa peduli seorang Edward Williams memikirkan kehidupan Mirella, Ryan dan buah cintanya andai Allysha benar benar anak kandung dari Ryan sesuai dugaannya? Andai kini mereka hidup sebagai satu keluarga bahagia, untuk apa juga Edward peduli? Karena Edward belum berkeluarga dan memiliki seorang anak seperti Allysha? Atau karena ia begitu memalukan atas hidupnya yang tidak berakhir bahagia seperti kehidupan Mirella sekarang? Mungkin alasan yang kedua lebih memihak pada perasaan dan pemikiran Edward saat ini. Tidak, nyatanya meski ia merasa yakin dengan pemikiran terakhirnya, hati Edward malah semakin bergejolak dan menolak untuk bersikap seperti seharusnya. Entah kenapa bagi Edward, rasanya sangat sulit menerima kenyataan yang baru ia ketahui setelah dirinya bertemu kembali dengan Mirella dua minggu lalu. Edward mengumpat, memaki dan mencela dirinya dalam hati. Bukan karena menyesali kepergiannya empat tahun lalu melainkan karena pertemuan kembali dan keputusannya menuntut Mirella sampai berakhir dengan dirinya yang harus terlibat kembali dengan kehidupan seorang Mirella Amanda Gilbert. Seseorang yang bahkan dalam kebencian sekalipun, Edward masih bisa mengingat namanya dengan sangat jelas.

"Sialan!" Maki Edward mendaratkan kepalan tangannya pada bahu kursi roda tanpa menyadari kalau tangannya masih dalam tahap pemulihan. Sakit? Jelas! setelah umpatannya tersebut, ringisan luar biasa keluar begitu saja.

Tidak lama setelah emosi yang terlampiaskan pada bahu kursi rodanya mereda, sepasang matanya menangkap sosok Mirella kembali dengan ekspresi wajah datar dan tidak bersahabat. Baiklah... Memangnya sejak kapan Mirella menjalin persahabatan dengan pria yang kini malah memalingkan wajahnya dari tatapan Mirella? lupakan! Karena detik selanjutnya langkah Mirella semakin dekat dan tangannya langsung meraih pegangan kursi roda yang biasa ia manfaatkan untuk mempermudah jalannya saat mendorong pasien. Tanpa kata, tanpa suara, Mirella bergegas mengantar Edward yang memasang ekspresi datar menuju ruangan terapi dan langsung menjalankan tugasnya untuk membimbing dan melatih Edward agar bisa berjalan normal kembali. Sementara Edward, entah kenapa mulut yang biasanya suka mencibir itu kini menjadi rapat seperti lem perekat dengan kualitas terbaik. Ia bungkam namun tetap menurut setiap kali Mirella menginterupsi dan memberi arahan khas seperti seorang dokter professional. Dari awal sampai akhir, dari terapi pertama sampai terapi kedua, Mirella dan Edward sama sama diam. Mirella tidak berniat untuk membuka suara lebih dulu meski hanya untuk sebuah kata formalitas seorang dokter pada pasiennya. Begitupun dengan Edward, meski ia mendapat tanya yang terus berkeliling diotaknya, namun ia enggan untuk mengulang seperti saat berada ditaman sehingga iapun masih bertahan dengan sikap diamnya yang turut menghidupkan keheningan diruangan berukuran cukup luas tempat keduanya berada saat ini therapy room VVIP.

Breakable HEAVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang