part44

3.9K 344 120
                                    

Dering ponsel berulangkali memanggil sang pemilik yang tengah terpaku ditempat duduknya. Suasana hening yang menambah sendunya malam mulai tersamarkan oleh suara bernada rendah dari ponsel yang tergeletak begitu saja diatas meja. Entah berapa kali sudah seseorang menghubungi pemilik benda pipih tersebut sampai akhirnya ia tersadar dari lamunan dan langsung menjawab panggilan telponnya.

"Aku pulang sekarang," ucapnya kemudian mematikan panggilan dan pergi dari ruangan bernuansa romantis tersebut.

***

Dibenamkannya wajah penuh lelah pada dada bidang pria yang merangkulnya penuh kehangatan. Seolah ia tidak memiliki siapapun untuk dijadikan pelampiasan atau sekedar sosok yang bisa menenangkan dirinya disaat saat seperti ini. Mirella memilih Darel. Pria yang memanggil namanya dengan nada penuh kekhawatiran. Tanpa mempedulikan siapa sosok yang ada dihadapannya, Mirella mendekat dan menangis dipelukan Darel, melepas segala penat melalui tangis tanpa suara tapi begitu mendalam.

Mirella sepertinya melupakan satu hal. Sosok pria yang memeluknya adalah pria yang menyukainya sejak dulu. Dan kini, Tanpa berpikir kalau tindakannya bisa membuat Darel semakin berharap lebih, Mirella tetap memeluknya, menangis sampai sesaknya hilang dan napasnya berembus secara teratur.

Memang tidak mudah menghadapi situasi disaat Mirella selalu berusaha mengubur masalalunya yang pahit namun semua orang yang ia temui malah terkesan membuatnya kembali mengenang. Mirella lelah, Mirella enggan kembali terpuruk hanya karena kehadiran pria masalalu dan permohonan maafnya yang belum tentu terlontar dengan tulus.

"Tenanglah. Semuanya baik baik saja,"ucap Darel setengah berbisik ditelinga Mirella, membuatnya tersadar dan mengurai pelukan.

"Maaf, tidak seharusnya aku seperti ini." Mirella mengusap air matanya dan berdiri tegak seolah ia mampu untuk tidak bertumpu pada siapapun termasuk pada pria dihadapannya saat ini.

"Katakan apa yang terjadi padamu? Kenapa kau berada disini?" Darel menatap lekat pada kedua mata Mirella yang basah. Terlalu banyak airmata yang keluar sampai Darel bisa melihat riasannya luntur dan membuat raut wajahnya terlihat semakin kacau. Meski begitu, dihadapan pria yang mencintainya dengan tulus, Mirella tetaplah wanita cantik yang mempesona. Ditangkupnya wajah Mirella dengan kedua tangan Darel yang terasa lembut dipipi kemerahan Mirella. Darel mengusap air mata Mirella yang kembali membasahi pipinya. Rasanya sudah terlalu sering sampai tidak lagi terhitung berapa kali Darel mengusap pipi Mirella yang basah setiap ia melihatnya menangis seperti saat ini. Hanya saja, alasannya yang berbeda. Jika biasanya Mirella menangisi keadaan Brianna yang seringkali menunjukkan gejala buruk, namun kali ini Darel sanksi menduga alasan yang sama mengingat sampai detik ini kondisi Brie masih bisa dibilang baik baik saja meski kedua matanya enggan terbuka sekedar untuk memastikan para tenaga medis yang menanganinya kalau dirinya baik baik saja.

"Aku..." Mirella menjeda, membalas tatapan Darel seolah memintanya untuk tidak mencemaskan dirinya. Namun logikanya masih berjalan dengan baik. Mirella sadar bahwa tidak akan ada satupun yang akan mempercayainya saat melihat betapa kacau dirinya saat ini. Rambut yang terurai kusut dengan riasan makeup yang berantakan dan mata sembab yang memerah, Mirella terlalu kacau untuk kalimat baik baik saja yang urung ia lontarkan. Mirella kembali menangis, tidak sanggup melanjutkan kalimatnya sampai akhirnya Darel kembali meraih tubuh Mirella kedalam pelukannya.

"Aku antar pulang ya." Tidak ada jawaban. Mirella terlalu nyaman menangis dipelukannya yang hangat dan enggan menolak saat Darel mengajaknya pergi.

Satu minggu kemudian...

Sore hari dipinggiran sungai Seine, Mirella tengah duduk bersandar pada sebuah kursi dengan tangan memegang kamera yang menunjukkan beberapa hasil dari foto foto yang berhasil ia ambil beberapa saat lalu. Ya, hari ini Mirella tidak memiliki jam kerja dirumah sakit. Allysha juga belum pulang dari liburan panjangnya bersama Ryan sehingga ia merasa kesepian jika harus berada didalam rumah yang sepi, dan sendirian. Memang semenjak satu minggu lalu Mirella lebih sering berada dirumah sakit dengan berbagai kesibukan yang sengaja ia cari cari. Bukan tanpa alasan, mengingat sejak kejadian minggu lalu saat terakhir kali ia bertatap muka dengan Edward, Mirella menjadi mudah sekali terdiam, melamun dan menangis setelahnya sehingga ia sengaja menyibukkan diri, memangkas waktu istirahatnya dengan bekerja dan itu cukup membantunya untuk tidak lagi mengingat atau menyesali berbagai hal yang mengusik pikirannya. Mirella juga mulai kembali mendatangi butik Jane dan mengikuti proses pembuatan gaun yang pernah dirancangnya saat ia tidak memiliki jam praktik dirumah sakit.

Breakable HEAVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang