Mirae nendorong Jaemin paksa sampai lelaki itu terturun dari atas sofa sebelum akhirnya ia mengangkat kedua kakinya naik, mengubah posisinya yang tadi duduk sekarang menjadi berbaring di atas sofa hitam di ruang tengah apartmennya itu.
"Sialan." Jaemin berdecak kemudian mencoba berdiri, "Sopan sekali, nona Choi."
Mirae yang tengah menatap ponsel kini balik menatap Jaemin, "Suka-suka ku dong. Kan tempat tinggalku," ucapnya sekilas kemudian mengembalikan fokusnya pada ponsel.
"Tapi tamu itu raja." Jaemin mengetukkan ponselnya pada dahi Mirae.
"Sialan, Na Jaemin. Itu sakit!" Sontak Mirae otomatis terbangun dari posisi berbaringnya menjadi duduk sembari memeganhi dahinya dengan tangan kanannya.
"Astaga." Jaemin baru sadar dengan apa yang digunakannya untuk mengetuk kepala Mirae barusan. Dia tidak sadar kalau yang dipegangnya itu adalah ponsel dan dia dengan santainya mengetuk kepala Mirae. "Maaf, maaf," katanya panik sembari meletakkan ponselnya ke atas meja dan memegangi dahi Mirae, "Terlalu keras, ya? Kukira tadi aku megang kertas."
Mirae mencebik, tentu saja Jaemin mengetuknya keras, kan dia kira itu kertas. "Bisa-bisa aku jadi bodoh sepertimu."
Jaemin yang tadi memegang, dan mengelus dahi Mirae yang sakit dengan tangannya akibat ulahnya sekarang malah menoyor kepala Mirae, "Sepintar apa sih sampai kau sering sekali mengatai orang bodoh?"
"Sialan." Mirae memegangi kepalanya yang habis ditoyor oleh Jaemin dengan jarinya. Anak ini tidak ada sopan santunnya lagi ya sekarang?
Mirae menatap Jaemin yang masih berdiri dihadapannya dengan alis yang naik ke atas, "Di Belanda anak umur 4 tahun sudah wajib masuk sekolah. Otomatis aku pintar lebih dulu darimu walaupun cuman delapan tahun pembelajaran." Mirae menjeda sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Tujuh kali aku dapat nilai tertinggi dalam tiap pergantian tahun. Aku pernah sekolah di Esprit Scholen. University of Amsterdam bahkan menerimaku secara cuma-cuma."Jaemin ternganga seusai mendengar kalimat panjang yang keluar dari mulut Mirae. Yang isinya hampir semua kesombongan, "Kau ─tinggal di Belanda? Amsterdam?"
Cepat-cepat Mirae mengatupkan kedua bibirnya. Percuma sebenarnya, sudah terlanjur keceplosan.
Perhatian mereka berdua teralihkan pada bel yang berbunyi dari arah pintu apartmen Mirae.
Buru-buru gadis itu berdiri dari duduknya, mengenakan kembali sandal rumah miliknya dan melangkah cepat menuju ke arah pintu.
Jaemin masih memperhatikan Mirae yang berjalan ke arah pintu, "Pantas saja dulu bahasa Koreanya aneh," gumam lelaki itu.
***
Kedua orang itu duduk di lantai, di atas ambal di bawah sofa ruang tengah apartment Mirae dengan dua porsi Jjajangmyeon yang barusan diantar oleh kurir."Padahal masakanku tadi lebih enak dari ini." Jaemin meraih sumpit setelah membuka bungkus jjajangmyeon tersebut.
"Kau saja belum mulai memakannya," sahut Mirae setelah menyuapkan Jjajangmyeonnya ke dalam mulut.
"Jadi kau orang Belanda? Tapi wajah-wajah Koreamu ada kok." Jaemin mengungkit kembali percakapan diantara mereka tadi.
Mirae menelan makanan di mulutnya sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Jaemin, "Ibuku asli Amsterdam."
"Pasti ibumu cantik."
"Makasih." Mirae menyahut sambil menikmati makanannya.
"Kubilang ibumu," balas Jaemin lagi.
Mirae menghentikan makannya dan beralih menatap Jaemin yang duduk tepat di hadapannya, "Orang-orang bilang aku mirip ibuku."
Jaemin menautkan kedua alisnya, "Tapi banyak yang bilang kau miripnya sama Irene noona kok."
Sambil melanjutkan makannya, mereka berdua juga melanjutkan percakapan semata-mata agar tidak ada suasana hening dan rasa ingin tahu Na Jaemin.
"Kalian kan tidak mengakui kalau aku mirip Irene."
"Benar juga sih." Jaemin mengangguk pelan kemudian menatap Mirae dan melanjutkan kalimatnya, "Cantik Irene noona."
Mirae mencebik mendengar kejujuran Jaemin barusan. Sama saja dengan Lee Jeno.
"Jadi, manager hyung itu saudara ayahmu?" tanya Jaemin keluar dari pembicaraan tentang Mirae dan Irene. Tentu saja beda, tiap orang kan punya auranya tersendiri.
Mirae hanya menjawabnya dengan anggukan singkat dan kembali sibuk dengan makanan di hadapannya.
Lagi-lagi Jaemin mengeluarkan pertanyaan yang berbeda, "Kau bilang kau diterima di univ terkenal di negaramu? Apa namanya?"
"University of Amsterdam. Fakultas keuangan."
"Lalu, kenapa kau tidak kuliah dan malah sibuk mengurus jadwal kami?"
Mirae meletakkan sumpitnya di atas plastik yang ada di atas meja kemudian menatap ke arah Na Jaemin sebelum akhirnya menjawab, "Bukannya aku pernah bilang kalau aku sudah terlalu pintar untuk lanjut kuliah?"
"Tapi, Choi Mirae," Jaemin menyela, "Fakultas keuangan, universitas ternama. Kau bisa dapat status dan jabatan yang lebih tinggi dibanding menjadi manager artis yang melelahkan seperti ini."
Mirae mendengus sembari membuka botol air yang ada di meja. Status, jabatan? Sebenarnya kenapa oramg-orang selalu menyesali hal itu sih?
Mirae meneguk airnya dan meletakkannya kembali ke atas meja dan menjawab perkataan Jaemin, "Ya sudah, besok aku meyuruh pamanku cepat kembali, lalu aku pulang ke Amsterdam dan kuliah kemudian aku tidak bertemu dengan kalian lagi deh."
"Eh jangan!" Jaemin langsung menyela lagi secara tiba-tiba lantas membuat Mirae menautkan alis heran dengan respon yang diberikan oleh Jaemin.
"Kenapa?"
Jaemin mengelus tengkuknya, berpikir sejenak sebelum mengeluarkan suara lagi, "Aku lebih suka kau yang mengatur kami sih daripada manager hyung."
Mirae diam dan mendekatkan wajahnya ke arah Jaemin dan berkata dengan pelan, "Suka aku sebagai manager atau yang lain?"
Sialan.
.
.
.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Manager || NCT Dream ✔✔
FanfictionMenjadi manager? Choi Mirae bahkan masih berfikir, apa itu sebuah berkah atau cobaan. Completed✔