Jalan Takdir

1.1K 104 4
                                    


Di tempat lain, di malam yang sama, dengan deras hujan yang sama, Park Jimin berjalan gontai menyusuri jalan yang remang-remang. Dirinya tak peduli meskipun tubuhnya sudah menggigil dan kuyup diserbu hujaman air dari langit. Yang dia inginkan sekarang adalah pergi sejauh mungkin dari rumah terkutuknya.

Waktu berpihak padanya. Malam yang gelap dan hujan yang lebat menyamarkan bagaimana rapuhnya sang pangeran. Dia lelah karena harus memakai topeng yang sama setiap hari, menjadi pangeran pujaan semua orang.

Dia muak terus menerus tersenyum. Apa gunanya senyum tersungging ketika hatinya tak tahu arti bahagia? Sudah lama remuk dan membusuk. Menyedihkan saat mengethaui bahwa 'cinta' yang membuatnya terpuruk. Menyedihkan. Wah cinta. Kenapa lagi-lagi itu mengusik dirinya? Bukankah dia sudah lama tidak mempercayai mitos yang bernama cinta?

Malam ini, dia tak tahu arah. Tanpa tujuan. Tak tahu harus tinggal di mana. Ke tempat kedua sahabatnya, tentu saja tidak bisa. Karena mungkin—ralat sudah pasti— mereka mengalami hal yang serupa dengan Jimin. Bisa saja dia menginap di hotel atau ke bar atau kemana saja. Dia orang kaya. Tapi kejadian memilukan yang lagi-lagi terjadi di rumahnya, membuatnya tak bisa berpikir apapun lagi. Dia seolah tak memiliki tempat di dunia ini. Apakah tidak ada lagi sudut bumi yang mau menerimanya?

Satu hal yang dia benci. Dia menyadari bahwa dirinya sedang sendiri. Tidak memiliki siapapun. Benar! Dia memang sudah sendirian dari awal bukan? Kesepian. Sendirian di tengah hujan. Oh shit! Baru saja dia menyadari jika dia sedang kehujanan. Dia juga benci hujan! Damn!

Dari arah berlawanan, gadis berambut panjang berjalan pelan untuk mempertahankan payung di tangannya. Sesekali angin nakal ingin menerpa payung bewarna peach itu dan akan membawanya terbang. Tapi kekuatan gadis itu lebih besar sehingga payung itu masih tetap bisa dipertahankan.

Gadis itu tak mengeluh, meskipun sedikit terbersit sesal—jika tadi ia menerima tawaran supirnya untuk diantar ke minimarket yang memang tidak terlalu jauh dari rumahnya, ia tak perlu basah kuyup begini— payung yang dibawanya ternyata tak bisa sepenuhnya melindungi diri dari guyuran hujan. Hujan berangin. Bagaimana dia bisa mempertahankan dirinya tetap kering? Tapi setidaknya, kepalanya masih bisa terlindungi.

Sayup-sayup dia melihat seseorang yang berjalan gontai ke arahnya. Dengan mengenakan kaos putih dengan celana gelap. Dia seperti mengenalnya. Matanya menyipit untuk menajamkan pandangan seraya berjalan lebih dekat. Matanya sukses membelalak

"Jimin?!"

Sang empunya nama menoleh. Dia tak kalah terkejutnya.

"Lusi?", gadis yang menjadi kekasih 'mainan'nya ada di hadapannya sekarang.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini? Kenapa hujan-hujan?" tanya gadis itu setelah memayungi Jimin. Jimin gelagapan. Dia bingung harus bersikap bagaimana. Atau sekedar menjawab pertanyaan Lusi saja, dia tidak bisa.

"Ah.. aku sedang hujan-hujan" Jimin cengengesan. Mengelabuhi Lusi agar tak melihat sisi dirinya yang—memang benar-benar—rapuh.

Gadis itu bukan tidak peka, tapi dia tak ingin bertanya lebih lanjut dalam kondisi seperti ini. Tangannya terulur menarik Jimin untuk di bawa ke rumahnya yang sudah tak terlalu jauh.

Sampai di rumah megah dengan design sederhana, para pelayan menyambut sang Nona dengan sedikit khawatir karena mendapatinya basah kuyup. Tak kalah mengejutnya, Lusi pulang membawa seorang laki-laki.

"Nona! Bagaimana Nona nekat seperti ini? Astaga! Kami benar-benar mengkhawatirkan Nona. Bagaimana jika sesuatu terjadi dengan Nona? Apa yang harus kami katakan pada Tuan dan Nyonya saat mereka pulang nanti?" salah satu pelayang yang terlihat sudah uzur, menyambut Lusi dengan khawatir.

Women Addict [M] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang