Bona telah kembali dari Gwangju. Dia keluar mobil dengan keadaan yang sangat buruk. Matanya tampak sedikit sembab. Sama sekali tak bisa memejamkan mata karena terus memikirkan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu.
Rungunya menangkap sebuah tawa renyah yang ia kenal. Sebuah tawa yang sangat hangat dan menangkan. Suara tawa neneknya. Dengan mendengar bagaimana neneknya tertawa, Bona bisa menebak jika kondisi neneknya jauh lebih baik. Kini Bona penasaran, apa yang neneknya tertawakan?
Meskipun hidupnya penuh dengan kesedihan yang sebenarnya tak bisa ia bendung, ia masih memiliki banyak hal yang berharga sehingga dia bisa bertahan. Salah satunya adalah sang nenek. Bona bergegas masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera bertemu dengan wanita itu.
Rumah yang selalu hangat membuat Bona sedikit menyeka matanya. Dia benar-benar merindukan neneknya. Tentu saja Bona tahu tempat favorit neneknya. Ia berani menjamin jika sang nenek berada di sana, duduk di kursi goyang di ruang tengah.
Bona menghela nafas sejenak kemudian mengembangkan senyumnya. Dia tak ingin tampak bersedih di depan orang yang sangat ia sayangi.
"Aku pulang!" teriaknya di ruang tamu kemudian Bona sedikit mempercepat langkahnya menuju ruang tengah "Aku bisa mendengar suara tawa nenek. Apakah ada hal yang menye—"
Bona tidak menyelesaikan kalimatnya. Senyumnya luntur. Mimpi buruk ternyata masih gemar menghantui dirinya.
"Bona-ya!" sapa neneknya dengan senyuman hangat yang ceria. "Kau sudah pulang, Sayangku" lanjutnya. Lanjutnya.
Dia diam tak menyahuti apa yang dikatakan sang nenek. Matanya memincing tajam menangkap eksistensi seseorang. Dia lelah marah, bisakah sejenak saja Bona dibiarkan dari seluruh benci yang ia pendam?
"Aku tak menyangka kau memiliki kekasih yang sangat menyenangkan, Bona. Kenapa kau tidak memberitahukan pada Nenek?" protes sang nenek.
Bona menoleh ke neneknya kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada laki-laki itu. Kekasih? What the hell is going on?
"Dia benar-benar tampan, kau pandai memilih" pujinya yang tak tahu bagaimana bencinya Bona pada laki-laki yang selalu berhasil menghancurkan dirinya.
Laki-laki itu juga masih menatap Bona. Tak menunjukkan rasa malu atau bersalah sama sekali. Bahkan ia berani duduk bersama dengan neneknya di rumah ini.
"Apa yang kau lakukan di rumah ini?!" ucap Bona dengan nada yang sedikit meninggi. Netranya memanas kembali.
"Bona..ada apa? Kenapa nada bicaramu tinggi sekali? Kekasihmu datang untuk menemani Nenek selama kamu pergi" neneknya bingung dengan sikap Bona yang tampak sangat tidak senang dengan kehadiran pria yang menyenangkan ini.
Bona tersadar. Neneknya sama sekali tidak menyukai orang yang berbicara seperti yang dia lakukan. Hati sang nenek begitu lembut sehingga tak bisa melihat orang berteriak karena marah.
Hanya saja laki-laki ini membuat Bona semakin muak. Bagaimana dirinya masih memiliki muka untuk muncul di depan Bona setelah apa yang dia lakukan? Dasar penjahat.
"Bibi Jung, tolong antarkan Nenek ke kamarnya" titah Bona yang langsung diiyakan oleh sang empunya nama.
"Ada apa Bona? Kenapa—" ucap neneknya terpotong.
"Maafkan Bona, Nenek. Apakah Nenek lupa jika dokter meminta Nenek untuk banyak istirahat? Tolong kembalilah ke kamar, Nek. Aku juga ingin bicara berdua dengannya" potong Bona santun dan lembut. Akhirnya sang nenek mengiyakan. Dia menurut saat salah satu pelayannya menuntunnya untuk kembali ke kamar.
"Jungkook-ie, Nenek kembali ke kamar, nikmati waktumu bersama cucuku" wanita yang sudah berumur itu tersenyum hangat pada Jungkook sebelum pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Women Addict [M] [End]
Romance[Complete] Apa jadinya jika seorang gadis yang masih "murni" harus terjebak dalam SMA Helios yang penuh dengan orang-orang dengan pergaulan bebas? Bagi Soeun yang mendapatkan beasiswa, dia harus berjuang mempertahankan harga dirinya hingga lulus dar...